Rabu, 19 Desember 2012

Memoar

Lama sudah berstagnasi dalam kesibukan dan pekerjaan yang baru.
Sebelum habis masa jabatan berakhir, kakakku pernah berkata "Hati-hati dengan sindromnya"
ya, sekarang aku baru bisa mengerti apa maksudnya. Energi dan konsentrasi besar telah tercurah dalam masa pengabdian satu periode silam. Konsekuensinya adalah menikmati masa datar dan kebasian energi dan konsentrasi yang telah menemukan kalibernya untuk disalurkan.

Beruntung alam bawah sadar bisa mengerti dan memahami nasehat singkat dari sang senior.
Hahaha... Memang zona nyaman itu tercipta atas kebiasaan dalam merasa.
Ketakutan dan kekhawatiran sering bertandang ketika melihat perjuangan yang dulu kulakukan dengan tanganku sendiri, harus dijalankan oleh orang baru. Rasanya aku masih di sana.

Namun memang diri itu perlu ditatar agar tidak hanyut dalam kebiasaan kenyamanan. Sesekali memang harus ada tamparan untuk diri sendiri yang senantiasa mengingatkan untuk bisa melihat gamblangnya realita. Setiap benturan akan menyentakkan diriku dan membuatku tersadar bahwa aku harus ikhlas dan percaya bahwa tidak ada yang sia-sia untuk sebuah usaha. Tidak ada penyesalan yang hadir bila hembusan nafas panjang membawa serta kekhawatiran dan ketakutan.

Lepaslah sudah ketakutan dan kekhawatiran....


Ada yang pernah bilang bahwa untuk apa aku melakukan semua ini. Nampak sia-sia dan tidak ada arti nyata terwujudnya perubahan. Namun spontan saja keluar dari mulut "Tidak ada yang sia-sia untuk sebuah usaha. Harus selalu ada orang yang berkata tidak untuk sebuah ketidakwajaran, sekaligus memberi apresiasi untuk sebuah keberhasilan atas pencapaian"

Harus selalu ada individu-individu yang bergerak atas keterikatan hati untuk mau memikirkan hal di luar dirinya. Percayalah bahwa level kalian sudah jauh lebih tinggi daripada yang lain. Daripada mereka yang masih berkutat untuk diri mereka sendiri, kalian telah mampu memikirkan orang lain untuk bisa mendapatkan hal yang memang layak mereka dapatkan.

Semoga terus banyak lahir individu-individu yang bukan hanya berbekal hati, namun juga nurani untuk bisa merasa bahwa kita masih jauh lebih beruntung daripada mereka. Masih ada getar di hati untuk bisa membuat mereka minimal bisa merasakan apa yang kita nikmati sekarang.

Jangan pernah lelah dan takut untuk berjuang kawan, karena hidup memang untuk berjuang. Kita adalah pejuang sedari kita lahir, kita berjuang meraih kebebasan dari rasa nyaman dalam sempitnya kehidupan. Kita telah berjuang untuk hidup dengan keluar dari hangatnya rahim. Jangan buat diri kalian hanya menjadi seorang penikmat atau bahkan penjilat, karena kalian lahir sebagai pejuang.

Aku bersama kalian jiwa-jiwa yang bebas. Jiwa-jiwa yang merdeka atas dirinya sendiri....

Selasa, 27 November 2012

Dialog Dini Hari

Malam itu entah angin apa yang mendorong saya untuk menjemput sang kekasih yang tengah (selalu) lembur dengan pekerjaannya. Bertempat di Jalan Sudirman, Gedung CIMB menjadi kantor bagi Medco yang tengah diaudit oleh EY, kantor kekasihku. Agak tidak biasa karena hari itu telah menyantap 7 jam kemacetan, ditambah dengan pekerjaan yang harus selesai esok, namun, tepat pukul 24:00 saya tetap berangkat.

Setengah jam perjalanan mengantar saya sampai di tujuan. dan, belum ada tanda-tanda pulang. Berbekal uang 2rb di selipan kantong, saya mennghampiri pedagang kopi keliling. "Kopi Hitam satu pak". Mantab, sarapan untuk menemani hari yang panjang. Tak jauh dari sana, ada satpam yang tengah berjaga. Melihat ada potensi untuk simbiosis mutualisme, saya menghampiri satpam itu. Minta ijin tempat dengan tawaran standar. "Ngopi pak". "Mari-mari".

Saya mengawali perbincangan dengan tawaran standar kedua. "Rokok pak". "Ada saya". Mulailah masuk kedalam perbincangan dengan topik perdana "Telepon Seluler". Ia mengatakan bahwa telpon seluler sudah seperti kacang. Siapa saja bisa beli dan boleh punya lebih dari satu. Udah bukan barang mewah lagi. Padahal dulu jaman tahun 1995, namanya HP itu barang mewah banget, walau masih segede bagong. Bikin janji buat pacaranpun harus ke telpon umum dulu. Kira-kira begitulah rangkuman topik perdana.

Berlanjut ke topik pasca rehat dengan tema "Transportasi Umum". Pak satpam punya pendapat bahwa jaman makin maju, ternyata tidak berbanding lurus dengan perkembangan sarana transportasi umumnya. "Jaman saya dulu waktu pacaran, taun 93, bisa pulang malem gampang pake kopaja. Kopaja masih muter sampe jam 1 2, sekarang mah, jam 10 juga udah bagus. Makin kemari makin taksi yang dibanyakin, tiap menit lewat 5 minimal. Padahal kalo orang kayak kita mana kepikiran naik taksi."

Wah, nampaknya pak satpam sedang galau lintas jaman. oke lanjut lagi,,,

"Jalanan makin rame, malah makin sepi kopaja. dulu jam 1 juga masih bisa dapet Patas". Betul pak, saya setuju dengan keluhan ini, dan,,, keluhan sebelumnya juga sih.

Tak lama datang mobil Livina yang terasa tergesa. Kaca terbuka, terlihat sosok wanita lokal bersama pria kaukasoid. "Di dalem ada atm cimb pak?" "ada, masuk aja ke kiri". Si mas bule keluar dengan rambut pirangnya, namun tak berapa lama kembali keluar dengan oleh-oleh pertanyaan. "Dimana lagi ada ATM CIMB? Tidak bisa ambil uang di sini" pak satpam dengan sigapnya menjelaskan letak ATM terdekat.
Livina kembali berangkat dengan tergesa.

Ternyata hal itu menjadi Bridge untuk topik pamungkas. "Gila, diabisin semua cewek sini sama bule-bule" Eh, kok kayak ada hal terpendam yang asik kalau dikeluarkan nih. "Hahaha,, Bule kan demen banget sama cewek Indo pak" "Gila ya, udah ekonomi dijajah, perempuan juga"

Wahhh,,, ini menarik sekali untuk dibahas.

"Sekarang bilang udah merdeka mah, tapi sama aja. Bule-bule dateng kemari, jadi pengusaha, sukses, kita jadi budaknya."

Itu adalah quote terbaik malam itu.
Perbincangan meluas dengan cakupan VOC sebagai perusahaan, yang membuat kesimpulan bahwa selama 400 tahun yang menjajah kita adalah korporasi. Kalau dulu pas kolonial mereka menggunakan pemerintah asal sebagai penjamin keamanan, penjajah jaman sekarang makin pintar dengan memakai pemerintah lokal.

Obrolan 1,5 jam menemani saya dalam penantian misi penjemputan.
Terima kasih pak satpam
Besok jemput kita ngobrol lagi, sambil kenalan.

Nb: Maaf pak saya memalsukan umur, saya 90, bukan 85. habisnya situ tuwir bener 73, jomplang banget tar obrolan kita. hehehe,,,

Senin, 19 November 2012

Kita Laki-Laki, Atau Pria?

Apakah pria itu?

Banyak wanita berpikir bahwa pria merupakan sosok laki-laki dewasa yang mengayomi, hangat, berpendidikan, serta mapan secara ekonomi. Makhluk ini ditandai dengan pakaian rapi lengan panjang, rambut pendek mengkilap, serta tunggangan roda empatnya. Rata-rata wanita sangat mendambakan sosok seperti ini. Namun, mari kita telusuri lebih dalam asal mula Label seperti ini.

Pria dengan inisiatif kah, atau wanita dengan impian seorang pria ideal?

Melihat konteks Indonesia, cara berpakaian kita sekarang merupakan serapan tradisi dari barat. Bahwa pada jaman raja-raja, laki-laki yang dianggap pria adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan ilmu kanuragan. Masuk pada fase kolonial. Bahwa laki-laki yang dianggap pria adalah mereka yang keturunan bangsawan dengan busana ala barat. Pandangan umum mengenai sosok pria ideal.

Bila ada seorang pria malang melintang di jalanan dengan busana jaman raja-raja jawa. Dengan kumis tebal, pakaian sarung, gelang lengan, dan sisipan keris di pinggang belakang, maka jaminan yang saya berikan adalah undangan masal untuk gelak tawa atau senyum nyiyir.

Pandangan dahulu telah berubah, berbeda dengan pandangan sekarang. Maka bila seorang pria dinilai hanya dari tampilan fisik, maka hal ini perlu dipertanyakan. Apakah semua itu muncul dari inisiatif, atau merupakan paparan dari pandangan umum?

Sederhana. "Pria adalah laki-laki dengan karakter kuat, dengan perasaan dan logika seimbang, kemandirian, serta kemerdekaan."

Laki-laki yang masih dijajah dengan pandangan umum apakah masih bisa dibilang sebagai pria?

Yin-Yang, Adam-Hawa

Pasangan. Kenapa kebanyakan orang mendambakan sosok untuk menjadi pasangannya?

Teori filsafat Tao memaknai itu dalam sebuah relasi Yin-Yang. Dua unsur berlawanan yang saling berpadu, kegelapan dan cahaya terang.

Atau tentang falsafah lain yang ada dalam kitab-kitab Samawi mengenai konsepsi Adam dan Hawa. Yang sering begitu dangkal diartikan sebagai laki-laki dan perempuan.

Dua konsepsi dari Ardhi dan Samawi yang punya kesamaan mengenai sebuah perbedaan yang berrelasi dan berpadu menjadi satu kesatuan yang membangun.

Konsepsi seperti ini memang terasa antah berantah bila direlasikan dengan konteks jaman sekarang. Namun ada satu hal sahih yang masih berlaku, bahwa perbedaan punya relasi untuk menjadi satu.

Manusia diciptakan untuk berpasangan, sekalipun ia memilih untuk berpasangan dengan dirinya sendiri. Namun bagi manusia yang memilih untuk berpasangan dengan manusia lain yang berlawanan jenis, maka fase ini masuk pada ranah problematika.

Pernah sekali saya membaca tulisan seorang wanita yang ditujukan untuk kekasihnya. Perasaan hati yang bertentangan dengan pilihan si lelaki. Secara rasa si wanita tidak pernah mengerti kenapa si pria mengambil jalan yang tidak pernah masuk pada konsepsinya. Namun pada akhirnya si wanita mengakui bahwa semua rasa itu terpulihkan dengan raut si pria yang bahagia dengan pilihannya. Maka si wanita pun ikut berbahagia.

Melihat memang sebuah perkara mudah, namun tidak untuk memahami. perlu ada keterbukaan diri, hati dan pikiran untuk bisa mencerna secara utuh tentang sebuah hal yang berlawanan, seperti dua aliran agama tadi yang memadukan perbedaan

Suatu hal yang membahagiaan ketika bertemu dengan pasangan yang secara fisik, karakter, pemikiran, dan hal lain yang begitu berbeda, namun tetap bisa menjadi padu. Sudah tidak ada "Aku" di sana. Yang ada hanya "Kita". Karena perbedaan itu bukan lagi terpisah, namun telah berpadu dan mengalir menjadi satu.

Sabtu, 17 November 2012

Ada Ribuan Mayat

Hari ini, 17 November 2012. Aku melihat ribuan mayat berkeliaran dengan segala keblingsatannya.

Seperti hari-hari biasanya, hari ini aku memulai hari dengan kemalasan. Malas untuk kembali ke dalam realita yang tak pernah masuk ke dalam logika. Malas untuk kembali memakai topeng agar tak dikenali oleh ribuan mayat lapar mencari mangsa. Malas untuk menyamar menjadi satu dari ribuan mereka. Malas untuk menangisi segala tetes air mata yang kusembunyikan di sudut kelopak mata.

Seperti hari-hari biasanya, hari ini aku membuka pintu untuk kembali dalam hari yang tak pernah berakhir. Tak pernah berakhir sejak pertama dimulai. Tak pernah berakhir ketika menyusup dalam kenangan, bahwa yang akan terjadi nanti, adalah hari-hari kemarin. Berperang sendiri dan mengangkat pedang untuk berjuang, yang kemudian akan kembali ditinggalkan dan ditusuk dari belakang.

Seperti hari-hari biasanya, hari ini aku membelah kerumunan mayat tanpa hati dan akal. Sebab otak dan hati mereka telah lama menjadi saksi kanibalisme yang mereka lakuka pada dirinya sendiri. Membelah ribuan mayat tanpa perasaan, yang mencoba menyamar menjadi manusia.

Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, aku menyaksikan betapa manusia bisa masuk begitu dalam ke sudut jahat hati mereka. Meracuni setiap inchi raga mereka. Menyaksikan betapa mereka sudah tidak merindukan betapa hangatnya keakraban.

Di pinggir jalan berdiri remaja separuh mayat yang sedang kebingungan dengan penentuan sikapnya. Menentukan akan menjalani sebagai apa? Aku menyaksikan semua itu.

Mata lebih sering terpejam ketika apa yang kulihat tidak pernah sama sekali melintas dibayangan. Mata terpejam, menjadi saksi betapa hidup lebih terasa mati dengan ribuan mayat yang mengelilingi.


Hari ini, 17 November 2012. Sebagian dari mayat-mayat itu adalah orang yang aku kenali. Orang yang menopangku disaat sulit dan orang yang menikamku ketika aku jaya. Sebagian dari mayat-mayat itu adalah orang yang aku cintai. Orang yang mau membagi sepenggal kisah hidupnya, untuk kemudian meracuniku dengan segala pujian. Sebagian dari mayat-mayat itu adalah orang yang aku kagumi. Orang yang menjadi motivator dan mentor hidupku, yang untuk kemudian memenjarakanku dalam kebebasan.

Hari ini, 17 November 2012. Mereka masih membicarakan yang lain, yang tidak lain adalah diri mereka sendiri.

Hari ini, 17 November 2012. Aku masih menjadi saksi di tengah para mayat dan keblingsatan.

Selasa, 13 November 2012

"Kudeta 1965"


Berakhirnya Perang Dunia Kedua (PD II) merupakan awal dari dimulainya Perang Dingin. Perang yang melibatkan dua blok besar dunia. Penganut paham demokrasi dan penganut paham komunis. Dua negara besar, Amerika yang memimpin sekutu mewakili demokrasi, dan Uni Sovyet yang mewakili komunis.

Perang ideologi ini membawa dampak besar, baik bagi negara-negara yang terlibat langsung, maupun negara yang lebih berperan sebagai simpatisan. Indonesia, mendeklarasikan diri untuk tidak memihak salah satu blok, namun pada praktiknya, Indonesia lebih condong ke Sovyet. Paling tidak, sampai akhir 1965.

Di Indonesia, bulan Oktober 1965, kaum buruh internasional menelan kekalahan terbesarnya pasca PD II. Lebih dari 1 juta jiwa melayang sebagai imbas dari kudeta militer yang diatur oleh CIA dengan eksekutor lokal Jendral Soeharto, selaku Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (PANGKOSTRAD) kala itu. Kudeta itu memanfaatkan momen goyahnya pemerintahan Soekarno, yang dipicu oleh kesehatan Soekarno yang dikabarkan menurun drastis. Tujuannya jelas, menyingkirkan pemerintahan yang berkuasa kala itu, rezim Soekarno.

Melibas komunis di Indonesia bukanlah perkara mudah. Operasi panjang CIA yang melibatkan mantan duta besar AS untuk Indonesia dan Australia, Marshall Green, yang juga melibatkan Badan Intelejen Australia (ASIS) membangun basis militer yang sengaja dipersiapkan untuk sebuah rezim anti-revolusi Indonesia. Tujuannya jelas, Menggulingkan Soekarno dan membasmi basis komunis di Indonesia.

Ketakutan pihak barat ini sangat beralasan. Dengan jumlah 3,5 juta; ditambah 3 juta dari pergerakan pemuda; 3.5 juta dari serikat buruh; dan pergerakan petani BTI yang mempunyai 9 juta anggota. serta pergerakan wanita, organisasi penulis, artis dan pergerakan kaum inteleknya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung. Jumlah ini menempatkan PKI sebagai partai komunis terbesar di dunia, di luar Cina dan Uni Sovyet.

Marshall Green mengakui keterlibatannya dan pemerintahnya dalam eksekusi kaum buruh dan simpatisan PKI. Sekitar 1 juta orang dibunuh dan ratusan ribu lainnya dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses hukum. Penderitaan yang berhasil keluar dari penjara tidak hanya berhenti saat meninggalkan hukuman kurungan. Pencantuman label OT di tanda pengenal membuat mereka sulit mendapat pekerjaan, serta mendapat hukuman sosial di masyarakat.

Operasi kejam ini tidak lepas dari ambisi AS untuk menguasai Indonesia sebagai "Permata Asia", yang memiliki simpanan sumber daya alam yang luarbiasa banyaknya. Eisenhower tahun 1953 dalam pidatonya menegaskan betapa pentingnya Indonesia bagi Imperialisme AS.

Permainan ini sengaja diciptakan agar AS tetap bisa mengontrol Indonesia. Mengontrol Indonesia, berarti pula mengontrol Asia Tenggara dan sekitarnya. Bila Indonesia jatuh ke tangan komunis, maka garis vertikal ke bawah tidak akan bisa dikontrol oleh AS lagi.

Sebelum kudeta di Indonesia tahun 1965, Richard Nixon menyerukan untuk pengeboman saturasi untuk melindungi "potensi mineral besar" Indonesia. Dua tahun setelahnya, dia menyerukan bahwa Indonesia merupakan hadiah terbesar Asia Tenggara.

Melalui diktator Soeharto, setidaknya ada tujuh hal yang menjadi alasan utama AS menganggap betapa pentingnya Indonesia sebagai negara paling berwenang secara strategis di dunia. (1) Mempunyai populasi yang terbesar di seluruh Asia Tenggara; (2) Merupakan penyuplai utama bahan-bahan mentah di daerah itu; (3) Kemakmuran ekonomi Jepang yang terus berkembang, sangatlah tergantung pada minyak bumi dan bahan-bahan mentah lain yang dipasok oleh Indonesia; (4) Investasi Amerika yang sudah ada di Indonesia sangatlah kokoh dan hubungan dagang kita sedang berkembang cepat; (5) Indonesia mungkin secara meningkat akan menjadi penyedia yang penting untuk keperluan energi AS; (6) Indonesia adalah anggota OPEC, tetapi itu mengambil sikap yang moderat dalam langkah-langkahnya, dan tidak ikut serta dalam embargo minyak bumi; (7) Kepulauan Indonesia terletak pada jalur-jalur laut yang strategis dan pemerintah Indonesia memainkan peranan yang vital dalam perundingan-perundingan hukum kelautan, yang sangatlah penting untuk keamanan dan kepentingan komersil kita.

Kudeta 1965 merupakan kepentingan internasional AS dalam usahanya untuk menjadi negara paling berpengaruh di dunia. Indonesia menjadi parameter utama agar terciptanya cita-cita AS itu. Melalui skenario CIA dengan menggunakan kediktatoran Soeharto dalam melanggengkan eksploitasi AS terhadap sumberdaya Indonesia, mereka telah berhasil mencapai cita-citanya. Namun dalam konteks lokal, kita tengah memanen kebusukan yang ditanam 50 tahun silam. Sebuah perjuangan panjang untuk meratakan lahan itu dan menanamnya dengan benih yang benar. Mengawalnya agar tumbuh menjadi pohon teduh yang menyejahterakan yang dibawahnya.

Torehan sejarah panjang yang kelam yang sekarang tengah kita ulang.



TIDAK BOLEH ADA SEJARAH KELAM YANG TERULANG DUA KALI DI REPUBLIK INI

RESISTENSIAL,,,!!!





sumber:
http://www.wsws.org/exhibits/1965coup/coup1965.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September

IKRAR

Ada kala ketika aku akan terhanyut jauh dalam buaian zona nyaman kita. Sampai akhirnya pada satu titik, aku melihat hal di luar zona itu.

Banyak orang yang berpikir untuk apa memperjuangkan nasib orang lain, sementara nasib kita sudah sedemikian baik. Banyak orang berpikir bahwa kemerosotan ekonomi berakar pada situasi dan permasalahan pribadi. Banyak orang berpikir bahwa kemapanan ekonomi merupakan sebuah pencapaian dan pembuktian diri. Banyak orang merasa hebat dengan popularitas dan ketenaran diri dari talenta dan sejumlah prestasi.

Semua itu berjalan lurus tanpa memberi ruang untuk menoleh bahkan melihat ke belakang. Situasi yang membuat kita begitu enggan untuk berusaha keluar dan menghadapi realitas sebenarnya.

Namun di sini, aku merasa semua hal yang banyak orang pikir itu merupakan kesalahan besar yang mendasar dan prinsipil. Ketika aku dihantui oleh mimpi agar orang diluar sana bisa menikmati nasi tiga kali sehari. Ketika aku melihat kemerosotan merupakan sebuah desain besar yang sengaja diciptakan untuk mengklasifikasi manusia demi keuntungan pribadi. Ketika aku merasa kemapanan ekonomi menjadi sia-sia saat dinikmati di atas jutaan penderitaan. Ketika aku merasa bahwa popularitas dan talenta merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus kuabdikan pada sesama.

Aku di sini sebagai manusia.
Orang lain di luar sanapun manusia, bukan komoditas.

Ketika perasaan itu hinggap di benak dan butuh proses panjang untuk meresapi sebuah pertanyaan besar yang belum bisa kujawab: "Untuk Apa Aku Dilahirkan?"

Kadang rasa lelah datang memenjarakan raga ini. Namun saat itu juga belenggu itu lepas dengan senyum kecil dari buah tangan ini. Kadang raga ini sakit, namun sesegera itu sembuh dengan rangkulan teman seperjuanganku. Kadang raga ini bosan dengan rutinitas konstan, namun semangat segera datang dengan membawa serta sedikit hasil dari apa yang telah kuperjuangkan.

Pada akhirnya aku sadar bahwa aku dilahirkan sebagai pejuang. Lahir dari rahim wanita yang berjuang memerdekakan harapan. Diberi ruang untuk mengalirnya darah pejuang yang menggerakan tubuh ini dengan spontan.

Ditatar dalam potongan mimpi yang terasa absurd, namun kembali teringat ketika hadir dalam perbuatan.

"Aku tidak akan pernah menikmati kemewahanku sebelum aku bisa menghadirkan itu kepada setiap orang sejauh mataku memandang. Kemewahan itu tidak akan pernah bisa membuai dan menghanyutkanku."
Ini Ikrarku...

Minggu, 11 November 2012

Strategi Kampanye


A. PERENCANAAN STRATEGIS KAMPANYE

Ketika berpikir tentang PR dan perencanaan, ada baiknya kita mulai dengan melihat definisi PR berikut :
“praktik PR adalah usaha yang direncanakan serta dilakukan secara kontinyu untuk menciptakan dan menjaga nama baik (goodwill) dan kesepahaman bersama antara suatu organisasi dengan publiknya.”

Inti dari definisi tersebut adalah bahwa PR harus direncanakan. Itu merupakan proses yang dipikirkan secara matang dan hati-hati. Proses tersebut juga memerlukan aktivitas yang dilakukan secara terus menerus. Dalam kaitannya dengan praktek kampanye PR, setidaknya ada beberapa alasan mengapa sebuah perencanaan harus dilakukan dalam kampanye (arti penting perencanaan), yaitu :

1) Memfokuskan usaha. Perencanaan membuat tim kampanye dapat mengidentifikasi dan menyusun tujuan yang akan dicapai dengan benar hingga akhirnya pekerjaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien, karena berkonsentrasi pada prioritas dan alur kerja yang jelas.

2) Mengembangkan sudut pandang berjangka waktu panjang. Perencanaan membuat tim kampanye melihat semua komponen secara menyeluruh. Ini akan membuat tim kampanye tidak berpikir mengenai efek kampanye dalam jangka waktu yang pendek tapi juga ke masa depan, hingga mendorong dihasilkannya program yang terstruktur dalam menghadapi kebutuhan masa depan.

3) Meminimalisi kegagalan. Perencanaan yang cermat dan teliti akan menghasilkan alur serta tahapan kerja yang jelas, terukur, dan spesifik serta lengkap dengan langkah-langkah alternatif, sehingga bila ada kegagalan bisa langsung diambil alternatif penyelesaian.

4) Mengurangi konflik. Konflik kepentingan dan prioritas merupakan hal yang sering terjadi dalam sebuah kerja tim. Perencanaan yang matang akan mengurangi potensi munculnya konflik, karena sudah ada bentuk tertulis mengenai alur serta prioritas pekerjaan untuk tiap-tiap anggota tim.

5) Memperlancar kerja sama dengan pihak lain. Sebuah rencana yang matang akan memunculkan rasa percaya para pendukung potensial serta media yang akan digunakan sebagai saluran kampanye, hingga pada akhirnya akan terjalin kerjasama yang baik dan lancar. (Gregory dalam Venus 2007:144)


Proses pengembangan tahapan-tahapan perencanaan suatu pelaksanaan program kampanye Public Relations secara keseluruhan, yaitu termasuk tujuan, publik sasaran dan pesan-pesan yang efektif, baik bertujuan periode jangka panjang (strategi) maupun berbentuk secara mikro (individual) dalam pelaksanaan jangka pendek dengan tujuan khusus (taktik) dapat dilaksanakan secara bersama-sama melalui proses 10 tahapan atau rangkaian yang secara logis. Gregory (2004:36) menyebutkan 10 tahapan perencanaan sebagai berikut :



1. Analisis Situasi

Analisis adalah langkah pertama dari proses perencanaan. Setelah riset, tahap berikutnya adalah analisis dan ini dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan yang akan menjadi dasar dari program Public Relations. ada dua jenis analisis yang digunakan untuk perencanaan program kampanye yaitu :

Analisis PEST

Teknik yang biasa digunakan dan sangat berguna untuk menganalisis lingkungan eksternal. PEST membagi lingkungan dalam empat area dan membahas hampis segala hal yang dapat mempengaruhi organisasi. Empat area tersebut adalah Politik, Ekonomi, Sosial dan Teknologi. Menurut Gregory (2004:41) pertanyaan-pertanyaan dasar yang diungkapkan ketika melaksanakan analisis PEST adalah : apa faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi organisasi?, mana dari faktor-faktor tersebut yang paling penting saat ini?, mana yang akan menjadi faktor yang paling penting empat tahun kemudian?

Analisis SWOT

Analisis SWOT meliputi empat elemen yaitu Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Oppurtunities (kesempatan), dan Threats (tantangan). Strength dan oppurtunities dapat dikelompokan sebagai pertimbangan-pertimbangan positif yang mendukung terlaksananya program kampanye, sedangkan weakness dan threats dikelompokan pada kondisi-kondisi negatif yang harus dihadapi kampanye. Sementara menurut Gregory (2004:46) menjelaskan dua elemen pertama, Strength dan Weakness dapat dilihat sebagai faktor yang digerakan secara internal dan bersifat khusus terhadap organisasi. Dua elemen yang lain, Oppurtunities dan Threats biasanya bersifat eksternal dan didapat melalui analisis PEST.


2. Tujuan

Menetapkan tujuan yang realistis adalah sangat penting apabila program atau kampanye yang direncanakan harus memiliki arah dan dapat menunjukan suatu keberhasilan tertentu. Tujuan utama dari Public Relations adalah untuk mempengaruhi sikap dan perilaku. Menurut Gregory (2004:79) ada delapan hal penting yang harus di ingat ketika menetapkan tujuan, yaitu :
Sejalan dengan tujuan organisasi.
Tepat dan spesifik.
Lakukan apa yang dapat dicapai.
Lakukan pengukuran sebanyak mungkin.
Bekerjalah berdasarkan skala waktu.
Bekerjalah berdasarkan anggaran.
Bekerjalah sesuai dengan urutan prioritas. 


3. Mengenali Publik
James Grunig (1984) mendefinisikan empat jenis publik, yaitu :
Nonpublik, adalah kelompok yang tidak terpengaruh maupun mempengaruhi organisasi.
Publik yang tersembunyi (latent public), adalah kelompok yang menghadapi masalah akibat tindakan suatu organisasi, namun mereka tidak menyadarinya.
Publik yang sadar (aware public), adalah kelompok yang mengenali adanya masalah.
Publik yang aktif, adalah kelompok yang mengambil tindakan terhadap suatu masalah.

Sementara itu, publik yang aktif dapat dikelompokan dalam tiga kategori berikut :
Publik semua masalah (all-issue public) sangat aktif terhadap semua masalah yang mempengaruhi organisasi.
Publik masalah tunggal (single-issue public) sangat aktif terhadap satu masalah atau sekelompok kecil masalah.
c. Publik masalah hangat (hot-issue public) adalah mereka yang terlibat dalam suatu masalah yang memiliki dukungan publik luas dan biasanya mendapatkan liputan khusus dari media.

Pemilihan publik mana yang akan menjadi sasaran bergantung pada tujuan kampanye yang akan dilaksanakan. Arens dalam Venus (2007:150) mengatakan bahwa identifikasi dan segmentasi ssasaran kampanye dilaksanakan dengan melakukan pemilahan atau segmentasi terhadap kondisi geografis, kondisi demografis, kondisi perilaku dan kondisi psikografis.


4. Pesan

Gregory (2004:95) menjelaskan empat langkah untuk menentukan pesan, yaitu : Langkah pertama adalah menggunakan persepsi yang sudah ada. Langkah kedua adalah menjelaskan pergeseran yang dapat dilakukan terhadap persepsi tersebut. Langkah ketiga adalah mengidentifikasi unsur-unsur persuasi. Cara terbaik adalah melakukannya berdasarkan fakta. Langkah keempat adalah memastikan bahwa pesan tersebut dapat dipercaya dan dapat disampaikan melalui Public Relations.


5. Strategi

Strategi adalah pendekatan keseluruhan untuk suatu program atau kampanye. Strategi adalah faktor pengkoordinasi, prinsip yang menjadi penuntun, ide utama dan pemikiran dibalik program taktis. (Venus 2007:152)


6. Taktik

Berbicara taktik pelaksanaan suatu program kampanye yang harus berkaitan erat dengan program dari strategi utama, tujuan kampanye, ketika akan mengembangkan taktik pelaksanaan kampanye tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor kekuatan, kreativitas atau kemampuan tim pelaksana, pengembangan program hingga pencapaian tujuan terukur, seperti yang diungkapkan Ruslan (2007:102) sebagai berikut :

a) Appropriateness, adanya kecocokan secara aktual dengan teknik-teknik taktik pelaksanaan, pencapaian target khalayak publik, hasil-hasil yang dicapai dalam melaksanakan pesan-pesan kampanye dan termasuk kecocokan dengan teknik-teknik Public Relations serta media komunikasi yang dipergunakan.

b) Deliverability, apakah anda mampu melaksanakan teknik-teknik berkampanye secara sukses sesuai dengan target? berapa besar alokasi dana yang diperlukan? Bagaimana dengan jadwal waktu pelaksanaan kampanye tersebut apakah sudah tepat? Termasuk memiliki tim ahli dan pendukungnya dalam taktik pelaksanaan secara tepat?.


7. Skala waktu

Ada dua hal yang pasti dalam kehidupan praktisi Public Relations. Pertama, tidak pernah ada waktu yang cukup untuk melakukan semua pekerjaan yang harus dilakukan, tugas dan tanggung jawab yang ada lebih besar daripada waktu yang tersedia. Kedua adalah bahwa tugas-tugas Public Relations seriingkali melibatkan orang lain dan memerlukan koordinasi dari beberapa unsur. Ada dua faktor utama yang saling berkaitan yang harus diamati ketika mempertimbangkan skala waktu. Pertama, tenggat waktu (deadline) harus di identifikasi sehingga tugas-tugas yang dihubungkan dengn suatu proyek dapat diselesaikan tepat waktu. Kedua adalah sumber daya yang tepat perlu dialokasikan sehingga tugas-tugas yang ada dapat diselesaikan. (Gregory, 2004:124)


8. Sumber daya

Menurut Ruslan (2007:104) terdapat tiga bentuk sumber daya utama yang berkaitan dengan pelaksanaan program kampanye Public Relations. Pertama sumber daya manusia (SDM) yang terlibat langsung dalam kegiatan kampanye berupa tenaga profesional, dan ahli hingga terampil, staf pendukung atau tenaga lapangan. Kedua, sumber biaya operasional untuk menunjang kegiatan kampanye yang dikelola secara efisien dalam pembiayaan pelaksanaan operasional (implementation fee), consultant or professional fee, space of advertising cost, dan equipment fee (biaya penyewaan perlatan penunjang, publikasi, transportasi, sound system dan lighting system dan sebagainya). Ketiga adalah sumber perlengkapan transportasi, dukungan perlatan teknis, pemanfaatan media komunikasi dan tim kerja lain dan sebagainya.


9. Evaluasi

Menurut Gregory (2004:138) evaluasi adalah proses yang berkelanjutan jika kita berbicara tentang program berjangka panjang. Jika dilaksanakan dengan benar, evaluasi memudahkan anda untuk mengendalikan kegiatan Public Relations. Berikut adalah alasan menngapa kita perlu mencantumkan evaluasi dalam kampanye dan program yang kita buat.
Memfokuskan usaha.
Menunjukan keefektifan.
Memastikan efisiensi biaya.
Mendukung manajemen yang baik.
Memfasilitasi pertanggungjawaban.


10. Review

Sementara evaluasi dilakukan secara teratur, review yang menyeluruh dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang. Setelah memutuskan untuk melakukan review, siklus proses perencanaan akan terulang lagi. Sekali lagi pertanyaan-pertanyaan dasar harus diajukan :
Apa yang ingin kita capai?
Siapa yang ingin kita jangkau?
Apa yang ingin kita katakan?
Apa cara yang paling efektif untuk menyampaikan pesan?
Bagaimana suskes dapat diukur?

Selain itu, peninjauan kembali terhadap penilaian perencanaan, pelaksanaan selama program dan pencapaian tujuan tertentu suatu kampanye berlangsung secara periodik setiap tahun tujuan program kampanye Public Relations melalui proses input (perolehan riset data, fakta, dan informasi di lapangan), output (kecocokan dengan isi pesan, tujuan dan media yang dipergunakan) dan result (hasil-hasil dari tujuan dan efektivitas program kampanye yang telah dicapai, apakah adanya perubahan sikap atau perilaku khalayak sasaran).

Menurut French (1982) terdapat 8 langkah perencanaan komunikasi untuk kampanye yaitu :

a. menganalisis masalah

b. menganalisis khalayak

c. merumuskan tujuan

d. memilih media

e. mengembangkan pesan

f. merencanakan produksi media

g. merencanakan manajemen progam

h. monitoring dan evaluasi

Nimmo dan Thomas ungs (1973 menjelaskan fase perencanaan kampanye politik. yaitu

a. fase pengorganisasian meliputi : kapan staf, informasi, dan dana dikumpulkan, strategi dan taktik ditetapkan, semangat kelompok dibangkitkan.

b. Fase pengujian meliputi : kapan calon menggalang para anggota menawarkan kemudahan pada orang – orang yang belum jadi anggota.

c. Fase kritis meliputi : suatu titik dimana calom pemilih belum menentukan sikap terhadap partai atau siapa yang adan dipilih atau di dukung.




B. PELAKSANAAN KAMPANYE

Menurut Venus (2007:199) pelaksanaan kampanye adalah “penerapan dari konstruksi ranncangan program yang telah ditetapkan sebelumnya”. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam tahap pelaksanaan meliputi : realisasi unsur-unsur kampanye, menguji coba rencana kampanye, pemantauan pelaksanaan, dan pembuatan laporan kemajuan.


1. Realisasi unsur-unsur pokok kampanye

· Perekrutan dan pelatihan personel kampanye

Kegiatan kampanye merupakan kerja tim. Dengan demikian banyak personel (juga lembaga) yang akan terlibat didalamnya. Penentuan siapa saja yang akan terlibat sebagai pelaksana kampanye (campaign organizer) merupakan langkah awal dalam melaksanakan kampanye. Orang-orang yang akan menjadi personel kampanye harus diseleksi dengan teliti dengan memperhatikan aspek motivasi, komitmen, kemampuan bekerjasama, dan pengalaman yang bersangkutan dalam kerja sejenis.

· Mengonstruksi pesan

Pada prinsipnya desain pesan kampanye harus sejalan dengan karakteristik khalayak sasaran, saluran yang digunakan, dan efek kampanye yang diharapkan. Pesan kampanye memiliki berbagai dimensi yang meliputi pesan verbal, nonverbal, dan visual. Namun apapun dimensinya, secara umum konstruksi pesan kammpanye harus didasarkan pada pertimbangan kesederhanaan (simplicity), kedekatan (familiarity) dengan situasi khalayak, kejelasan (clarity), keringkasan (conciesness). Kebaruan (novelty), konsistensi, kesopanan (courtessy) dan kesesuaian dengan objek kammpanye.

· Menyeleksi penyampai pesan kampanye

Pelaksanaan kampanye juga menghendaki pelaksana kampanye berhadapan dengan pemilihan individu yang secara spesifik bertindak sebagai pelaku (campaign actor) yang menyampaikan pesan kampanye. Keputusan untuk menentukan siapa pelaku atau penyampai pesan kampanye ini menjai sangat penting karena merekalah aktor yang akan berhadapan langsung dengan publik.

· Menyeleksi saluran kampanye

Menyeleksi media mana yang akan digunakan sebagai saluran kampanye harus dilakukan dengan penuh pertimbangan. Beberapa faktor pokok yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media kampanye diantaranya : jangkauan media, tipe dan ukuran besarnya khalayak, biaya, waktu, dan tujuan serta objek kampanye. Di samping itu faktor lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah karakteristik khalayak, baik secara demografis, psikografis, maupun geografis. Pola penggunaan media khalayak (media habit) juga harus diperhitungkan untuk memastikan media apa yang biasanya digunakan khalayak.


2. Uji coba rencana kampanye

Uji coba terhadap suatu rancangan dilakukan untuk menyusun strategi (pesan, media, dan penyampai pesan) yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Lewat uji coba rencana kampanye juga kita akan memperoleh gambaran tentang respons awal sebagian khalayak sasaran terhadap pesan-pesan kampanye. Respons ini pada gilirannya akan digunakan sebagai pembanding ketika melakukan evaluasi proses dan akhir kampanye.


3. Tindakan dan pemantauan kampanye

Sebagai sebuah kegiatan yang terprogram dan direncanakan dengan baik, maka segala tindakan dalam kampanye harus dipantau agar tidak keluar dari arah yang ditetapkan. Untuk itu harus dipahami bahwa tindakan kampanye bukanlah tindakan yang kaku dan parsial, tetapi bersifat adaptif, antisipatif, integratif dan berorientasi pada pemecahan masalah.
Adaptif. Tindakan kampanye bersifat adaptif artinya ia terbuka terhadap masukan-masukan baru atau bukti-bukti baru yang ditemukan di lapangan.
Anitisipatif. Tindakan kampanye bersifat antisipatif artinya kegiatan kampanye harus memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan muncul di lapangan saat kampanye dilakukan.
Orientasi pemecahan masalah. Tindakan kampanye bersifat problem solving oriented artinya segala bentuk tindakan dalam proses kampanye diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Integratif dan koordinatif
Kegiatan kampanye bukanlah tindakan one man show melainkan kegiatan yang didasarkan pada kerja tim. Keberhasilan kampanye ditentukan oleh bagaimana pelaksana kampanye bertindak secara integratif dan koordinatif. Koordinasi ini tidak hanya dilakukan dengan sesama pelaksana kampanye melainkan juga dengan berbagai pihak terkait yang akan turut mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan pencapaian tujuan kampanye.


4. Laporan kemajuan

Unsur terakhir dari proses pelaksanaan kampanye adalah penjadwalan laporan kemajuan atau progress report. Laporan kemajuan merupakan dokumen yang sangat penting, bukan hanya bagi manajer tapi juga pelaksana kampanye secara keseluruhan. Dalam laporan kemajuan umumnya dimuat berbagai data dan fakta tentang berbagai hal yang telah dilakukan selama masa kampanye.






SUMBER:

 http://stail.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=158:urgensi-perencanaan-komunikasi-dalam-sebuah-organisasi&catid=44:jurnal-ilmiah&Itemid=95
--
http://www.scribd.com/doc/32808491/Kampanye-PR

http://komunitaspr.wordpress.com/2010/06/10/perencanaan-strategis-kampanye-pr/









Jumat, 02 November 2012

SBY Jual Ladang Emas Kalimantan

Pada 2001 Pemerintah RI sempat menghentikan operasi Freeport McMoran di Papua. Freeport dianggap melanggar konsensus PBB mengenai Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) serta aturan expansi "Gold Mining" tentang pelarangan sebuah negara beroperasi di negara lain. Namun Pada 2007 Freeport kembali beroperasi, dengan mengakali peraturan yang membuat Freeport McMoran seolah-olah perusahaan tambang milik Indonesia dan mengganti namanya menjadi Freeport Indonesia.

Hal serupa juga berlaku pada Ontario Limited Co.Ltd, Perusahaan penambang emas raksasa milik Great Britain (Britania Raya) yang berpusat di Bermuda. Ontario Limited Co.Ltd membuat anak perusahaan di Indonesia dengan nama Kalimantan Gold Corporation. Tujuannya jelas, agar secara yuridis, perusahaan ini adalah perusahaan Indonesia.

Menurut data yang dirilis dari tmx.quotemedia.com, terhitung resmi sejak 23 Mei 2012, Freeport & KGC sudah mulai menambang emas & tembaga di Kalimantan. Kedua perusahaan raksasa ini membentuk sebuah anak perusahaan untuk menjalankan operasi tambang di Kalimantan Tengah, yaitu "PT. Kalimantan Surya Kencana". Daerah operasi mereka terbentang dari Tayan Kalbar sampai Tarakan Kaltim, yang juga melewati Beruang Tengah Kalteng.

Kalimantan Gold Corporation dalam laporan resmi yang dirilis di Bursa Efek Toronto pada Selasa (29/5/2012) menyebutkan, pengeboran pertama sedang dilakukan di Beruang Tengah sejak 23 Mei 2012. ”Pengeboran pada lubang kedua diharapkan dapat dilakukan di Berungan kanan pada awal Juni 2012,” ujar Faldi Ismail, Deputy Chairman and CEO Kalimantan Gold, dalam keterangan pers yang dikutip KONTAN (www.tmx.quotemedia.com, Selasa, 29/5/2012).

Freeport & KGC Joint Operation (dalam consortiumnya menggunakan anak perusahaan bersama J.O. Kalimantan Surya Kencana) melakukan eksplorasi tembaga dan emas di Kalimantan terhitung sejak Mei 2012. Selain tercatat di bursa efek Toronto, Kanada, KLG juga tercatat di Bursa Efek London.

Dari fakta ini jelas memperlihatkan urgensi lawatan SBY ke London untuk tujuan apa. Ketika masyarakat mempertanyakan pertimbangan SBY yang lebih memilih berkunjung ke London ketimbang kunjungan untuk menyelesaikan konflik horizontal yang terjadi di dalam negeri, deal-deal seperti ini jelas sangat menguntungkan SBY secara personal dan golongan.

Di satu sisi, sebagai warga Indoonesia, saya tidak ingin papua melepaskan diri dari NKRI. Namun dari sisi sentimentil, saya pun akan melakukan hal yang sama seperti saudara-saudara di papua. Ketika semua penduduk Capitol lebih sibuk mengurusi pemimpin daerah mereka yang baru, ada bagian dari Indonesia yang diperas habis-habisan. Sekarang giliran Kalimantan. Penduduk asli tidak akan membiarkan begitu saja tanah mereka dirampas dan ekosistem mereka dirusak, disamping mereka tidak menikmati kekayaan alam mereka.

Selasa, 16 Oktober 2012

BADUY: Tak Sekadar Jalan-Jalan (part I)

Kisah perjalanan ini bermula dari sebuah rencana tak terduga. Kala itu saya dan seorang teman sedang berpikir untuk mengisi libur singkat di bulan April, bertepatan dengan Hari Raya Paskah. Rutinitas sakramentalia di gereja nampaknya sudah menjadi terlalu abstrak untuk diikuti. Rasanya kami ingin memaknainya langsung di dalam keseharian lewat interaksi dan pengalaman hidup.

Menepi dari hingar-bingar kota. Mencari makna dalam kesunyian. Mengalami pengorbanan untuk mendapatkan nilai. Belajar tentang hidup dengan menjalani hidup itu sendiri. Pilihan jatuh pada desa Baduy. kebetulan salah seorang teman saya yang lain memiliki akses langsung dengan orang di Baduy dalam. Rencana disusun bersamaan dengan janji dengan kawan di Baduy dalam.

Kala itu hari Jumat. Ketika nasrani menjalani prosesi jalan salib, kami (Saya, Ardo, dan Wahyu) melakukan perjalanan dengan pengorbanan pula. Berkumpul di Stasiun Serpong, tiga orang pergi menumpang kereta api menuju Rangkas Bitung.

Gerbong yang kami naiki bukanlah gerbong penumpang. Hanya ada jendela, tidak ada pintu. Kami masuk lewat jendela dan duduk bersila. Melihat orang banyak dengan ekspresi mereka masing-masing. Melihat orang dengan segala barang bawaannya, termasuk seekor ayam pun ada. Mungkin terdengar begitu kumuh, namun kami tetap menikmati semua. menikmati perjalanan dengan khikmat.

Kereta berhenti. Kami bergegas keluar. Tentu saja melalui jalan masuk kami tadi, jendela. Wahyu sempat membantu seorang ibu yang kesulitan turun dari jendela, karena memang jarak antara jendela-tanah terlalu jauh. Kepekaan dan inisiatif yang cukup menyentil saya. Sangat sederhana, namun begitu sangat menunjukkan betapa menolong orang lain dengan pengorbanan itu bisa menghasilkan senyuman.

Dari stasiun Rangkas Bitung, kami menumpang angkot menuju sebuah terminal. Terminalnya tergolong kecil. Lebih didominasi oleh angkutan jenis Elf. Kebetulan hari itu lalu lintas angkutan cukup padat, sehingga kami bertiga tidak mendapat kursi di angkutan. Seketika itu juga, ide gila muncul. "Gimana kalo di kap mobil aja", kata salah seorang teman saya. Karena kami tidak punya banyak pilihan, maka pilihan ini kami ambil. Kami hanya ingin sampai ke Baduy tepat dan berjumpa dengan kawan kami, orang Baduy Dalam.

Sekitar 3 jam perjalanan mengantarkan kami dari Terminal menuju desa Ciboleger, desa terakhir yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Sesampainya di sana, kami langsung disambut oleh kawan kami, Sapri yang kebetulan membawa serta kawannya, Asmin. Kesan pertama yang saya dapatkan adalah "Wow, mereka masih anak-anak ternyata". Hal itu terlihat dari bentuk wajah keduanya. Kami rehat sejenak untuk merenggangkan otot kami yang kaku setelah menegang selama 3 jam perjalanan. Kopi dan pisang goreng menemani rehat kami.

Perbincangan ringan membuka interaksiku dengan kawan baru dari Baduy Dalam ini. mereka tidak terlalu primitif untuk diajak berbincang. Ini pengalaman pertama saya berbincang dengan penghuni Baduy Dalam. Mereka cukup punya wawasan di luar adat istiadat mereka. Pengetahuan mereka tentang Jakarta membuat saya cukup tercengang, sebab mereka ternyata cukup mengenal Ibu Kota.

Setelah rehat, kami memutuskan untuk memulai perjalanan. namun baru beberapa menit berjalan, hujan turun dan semakin deras. Maka kami sepakat untuk berteduh dan menunda perjalanan sampai hujan reda. Kami berteduh di teras rumah salah seorang warga Baduy Luar. Kesempatan ini membuka waktu yang cukup banyak untuk kembali berbincang. Perbincangan ringan yang disisipi sedikit humor untuk melepaskan tawa. Dua jam berlalu, hujan pun akhirnya mereda. Kami melanjutkan perjalanan.

Kala itu, jalan setapak dari tanah terasa sangat licin. Beberapa kali Ardo harus tergelincir dan kehilangan keseimbangan. Namun dua rekan kami dari Baduy Dalam nampak santai mengambil langkah. Mereka tidak memakai alas kaki. Maka, kami pun mengikuti contoh itu, dengan harapan bisa terbebas dari licinnya jalanan.
Seperjalanan, kami melewati pemandangan yang begitu luar biasa indah. Melewati danau yang begitu jernih airnya. Melintasi punggung bukit yang menyajikan pemandangan elok punggungan bukit dengan kabut tipis di lembahnya. Ditambah, udara segar yang menambah nikmatnya perjalanan kami. Sering saya mengambil nafas dalam untuk menikmati betapa nikmatnya udara, udara yang disajikan cuma-cuma. Suasana yang begitu damai segera menjadi imaji di kepala.

3 jam perjalanan dengan jalan kaki tidak terasa. Melewati sungai yang menjadi pembatas antara wilayah Baduy Dalam dan Baduy Luar. Menikmati teduhnya rumah singgah di ladang yang kami lalui. Meneguk betapa segarnya air sungai yang begitu bersih dan segar. menikmati hasil bumi dari buah durian yang beruntung masih bisa kami rasakan. Semuanya itu menjadi bumbu perjalanan kami selama 3 jam menuju Baduy Dalam.

Alat komunikasi kami matikan dan kami bungkus di dalam tas. Sebab aturan adat di Baduy Dalam tidak memperbolehkan adanya pemakaian alat elektonik. Tidak masalah. Semua itu hanya tidak bisa divisualkan. Namun tetap bisa tersaji melalui tulisan.

Sebelum masuk ke perkampungan, ada sebuah lokasi tempat penyimpanan beras. tempat penyimpanan itu seperti rumah minang, namun dalam bentuk mini. Sekitar 2 x 2 meter saja. Cukup tinggi. Dan hanya ada satu pintu kecil yang terletak di bagian atas untuk memasukkan dan mengambil beras. Tidak jauh dari lokasi itu, ada sebuah jembatan yang terbuat dari bambu yang menjadi penghubung dan pintu gerbang perkampungan.

Perkampungan yang kami datangi ini merupakan perkampungan atau desa tempat tinggal Sapri dan Asmin. Perkampungan itu bernama Ci Beo. Terdiri dari beberapa puluh rumah yang berarti beberapa puluh keluarga. Sebab aturannya di sini, setiap orang yang menikah, wajib hidup dengan keluarganya, bukan dengan orang tuanya. Kebetulan Sapri belum menikah, maka ia masih tinggal dengan orang tuanya.

Rumah-rumah di sama cukup unik. Tidak ada sebilah paku yang menjadi perekat. Semua balok terpasang dengan kuncian yang sengaja dipahat dan ibuat agar kuat menyangga dan menjadi pondasi yang kokoh. Sangat harmoni.

Pengalaman berharga berikutnya kami dapatkan ketika selesai makan malam. Kami kembali berbincang di halaman depan rumah, tepatnya di pinggir jalan. Penerangan hanya menggunakan sebuah lampu yang terbuat dari botol kaca, sumbu, dan minyak tanah.

Di dalam suasan gelap itu, saya mulai mengajukan beberapa pertanyaan mengenai konsepsi adat istiadat Baduy Dalam. Menurut penjelasan Sapri, menjadi orang Baduy Dalam itu adalah sebuah kehormatan. Hal itu karena identitas itu merupakan warisan. Orang Baduy Dalam bisa dengan mudah menjadi orang Baduy Luar, namun tidak sebaliknya. Orang Baduy Dalam memiliki peraturan yang sangat ketat, apalagi bila itu berkaitan dengan adat istiadat. Salah satu contoh adalah Orang Baduy Dalam tidak boleh berbohong. Orang Baduy dalam tidak boleh memiliki alat-alat elektronik. Tidak boleh menggunakan kendaraan. Tidak boleh mengotori sungai dan lingkungan. Dan semua aturan itu diawasi oleh seorang tetua adat yang akrab mereka panggil Pu'un.

Hal yang saya anggap luar biasa adalah kejujuran mereka. Ketika mereka bepergian ke Jakarta yang notabene jauh dari kampung, mereka masih memegang teguh prinsip untuk tidak memakai kendaraan, padahal, kalau mereka melakukan itu pun tidak ada warga Baduy Dalam yang melihat. Namun mereka tidak mengambil pilihan itu, bahkan hal itu tidak pernah hadir sebagai pilihan di kepala mereka. Di tengah perkembangan budaya msyarakat yang serba kebelinger seperti ini, ternyata ada yang masih berpegang teguh pada konsep kejujuran.

Setelah perbincangan yang cukup serius itu, maka mulai masuklah kami ke perbincangan ringan. Tiba-tiba asmin bertanya mengenai bulan yang kadang muncul dan kadang menghilang. Saya pun menjawab dengan sedikit mengingat-ingat pelajaran di SD dan SMP mengenai astronomi. Saya mencoba menjelaskan hal ilmiah dengan penjelasan populer. Namun dengan penjelasan itu, mereka hanya merespon dengan kata "Oooo..." Lalu menyambung pertanyaan sebelumnya, maka ia bertanya kembali dengan polosnya, "Terus, bisa nggak orang pergi ke bulan?" Wahyu menjawab menggunakan konsep pesawat ulang alik. Namun Sapri  bertanya lagi, "Bisa nggak orang pergi jalan kaki ke bulan?". Wahyu menjawab dengan tegas "Ya nggak bisa, makanya, selama orang Baduy Dalam nggak boleh pake kendaraan, Sapri dan Asmin nggak bisa pergi ke bulan". Jawaban itu lantas membawa gelak tawa yang memecah pekatnya malam itu.

Mereka orang yang polos. Mereka seperti sebuah kertas putih yang sedang diisi dengan tulisan dan gambar. Mereka masih terlalu kosong secara pengetahuan umum. Namun untuk soal harmonisasi alam, mereka adalah guru saya. Sangat sulit berpegang teguh dengan prinsip seperti itu di tengah kehidupan serba moderen seperti ini. Namun dari situ, minimal saya bisa belajar untuk memahami sebuah ketulusan dan kebanggaan.

Nampaknya terlalu banyak yang bisa diceritakan dalam perjalanan ini. Belum kami menutup mata, masih ada dua hari lagi yang belum sempat tertuang di sini.

#Bersambung....

Selasa, 09 Oktober 2012

“Stopping The Presses For Good”

Surat kabar atau yang akrab disebut koran merupakan salah satu media komunikasi yang paling tua yang masih bertahan sampai sekarang. Koran menjadi populer ketika ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg pada 1450. Walau pada awalnya biaya untuk mencetak sebuah koran sangat mahal, namun seiring dengan berkembangnya teknologi masalah finansial ini bisa diatasi.

Memasuki abad ke-19, koran mulai mendapat saingan dengan munculnya radio sebagai sarana komunikasi baru yang jauh lebih cepat. Pada saat itu banyak orang berpendapat bahwa koran akan mati karena penikmat berita akan beralih ke radio. Namun agaknya hal ini bukan menjadi masalah lagi ketika ancaman itu tidak terbukti. Apalagi ketika alih fungsi radio menjadi sarana hiburan.

Pada abad ke-20 muncul ancaman baru untuk koran, yaitu televisi. Televisi lebih memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh media lain seperti koran atau radio. Televisi mampu menampilkan audio (suara) sekaligus video (gambar). Namun lagi-lagi hal ini bukan menjadi masalah ketika ancaman televisi tidak terbukti untuk eksistensi koran dalam dunia media masa.

Pada masa sekarang ancaman untuk koran kembali muncul. Sarana komunikasi tercepat yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia, yaitu internet. Internet seperti yang telah kita ketahui adalah sarana komunikasi berbasis komputer. Internet memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh koran, seperti cakupan isi, kecepatan, sampai efisiensi. Internet merupakan sebuah tantangan serius bagi eksistensi koran. Maka pertanyaan yang muncul adalah, mampukah koran bertahan dan tetap eksis dengan munculnya media komunikasi yang memiliki banyak kelebihan ini?


Menghadapi Tantangan 

Dalam film dokumenter yang berjudul “Stopping The Presses For Good” dijelaskan bahwa dampak yang ditimbulkan dari berkembangnya sarana internet ini akan mengancam keberadaan koran sebagai sarana komunikasi klasik yang masih bertahan sampai sekarang. Fasilitas untuk mengakses internet sudah sangat berkembang.

Kelemahan koran yang paling terlihat adalah dalam hal kecepatan penyampaian berita dan cakupan (banyak) berita yang disajikan. Dikatakan bahwa koran akan mendekati akhir masa jayanya atau bisa dibilang akan mati. Apakah hal ini benar? Mungkin benar dan sangat mungkin salah. Masyarakat modern dalam konteks media masa yang diramalkan adalah masyarakat yang memiliki sebuah alat yang bisa mengakses internet dimanapun berada.

Kebutuhan masyarakat akan berita sudah sangat besar. Generasi sekarang adalah generasi yang serba digital. Masyarakatnya adalah orang yang memiliki tingkat kesibukan yang sangat tinggi. Maka dari situ internet menjadi solusi yang sanggup menjawab kebutuhan ini. Namun hal yang paling mendasar yang harus dilihat adalah keberadaan koran di masyarakat. Koran bukan hanya menjadi sebuah media yang berkutat dalam penyampaian berita saja. Koran memiliki aspek penting yang bisa membuatnya bertahan menghadapi segala tantangan yang muncul. Aspek itu adalah budaya. Budaya ini terbentuk karena intensitas hubungan manusia dengan koran ini sangat tinggi. Kebiasaan ini membuat manusia menanggapi koran menjadi sebuah kebutuhan yang pada akhirnya berlanjut menjadi budaya yang telah menyatu dengan masyarakat.

Film “Stopping The Presses For Good” mengatakan bahwa internet adalah ancaman serius bagi eksistensi koran. Hal ini terbukti dengan penurunan jumlah penjualan koran yang cukup signifikan di Amerika yang mencapai 28%. Ancaman ini saya akui memang sangat serius. Namun ancaman ini bisa disiasati dengan membuat inovasi dalam penyajian koran.


Inovasi Itu Penting 

Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah perubahan dalam penyajian berita. Koran jelas tidak mungkin menang dalam hal kecepatan, maka yang harus ditekankan adalah segi investigasi yang lebih mendalam sehingga membantu pembaca dalam mencerna berita. Karena bila koran hanya menyajikan fakta saja, maka hal itu sama saja seperti berita yang ada dalam internet.

Pembaca bukan hanya sedakar ingin tahu soal apa yang terjadi, namun juga kupasan berita yang berbobot dan berkualitas dari si penyaji berita. Hal lain yang perlu dilakukan adalah penambahan variasi isi koran. Koran tidak boleh hanya soal berita yang “berat-berat” saja, namun juga mesti diselingi dengan berita yang ringan, seperti berita pariwisata, mitos, dan lain sebagainya. Mengingat sejarah dari koran dan hubungan dengan penikmatnya saya yakin bahwa koran akan sangat mungkin bertahan dengan kehadiran internet.

Film yang berjudul “Stopping The Presses For Good” hanya menjelaskan kemungkinan logis yang mungkin akan terjadi dengan kehadiran internet sebagai sarana pemenuhan kebutuhan akan berita, tanpa melihat aspek historis dan kualitas isi dari sebuah koran. Koran akan mampu bertahan apabila koran membuat inovasi dalam penyajiannya.

Senin, 08 Oktober 2012

Sajak Untuk Sahabat

Terkadang manusia harus larut dalam relaksasi alkohol untuk meraih sebuah utopi soal indahnya dunia di luar yang sedang hadapi. Terkadang kenyataan itu memang terasa sangat pahit. Menguras semua perhatian dan pikiran untuk berkutat dalam angan yang tidak bisa terbayar.

Kenyataan memang bukan untuk diendapkan dalam pikir dan angan. Kenyataan akan terasa lebih sensasional ketika kita mencumbunya. Mencumbu dengan mesra untuk menikmati betapa pedihnya ia. Mencumbu untuk dengan mesra untuk merasakan betapa ada sisi yang jauh tak terpikir dalam angan.

Luapan emosi yang dibawa butir buih alkohol mungkin bisa mengantarkan kita melayang jauh pada kenyataan. Namun seperti sifat buih, ia akan hilang dan sirna begitu saja. Kembali membawa kita dalam kenyataan.

Tidak ada yang menyalahkan manusia yang melarikan diri dalam angan. Namun ia akan menjadi ironi ketika kita merasa nyaman dan tidak ingin kembali pada kenyataan.

Aku akan selalu ada menemanimu duhai sahabatku.
Aku akan ikut larut bersamamu dalam suasana suka, suasana lara.
Kembali membawamu dan menemanimu dalam kenyataan.

Kamis, 04 Oktober 2012

Terbenam Sejarah: "Tan Malaka"

Menjadi bagian dari sejarah merupakan sebuah kebanggan dan kepuasan tersendiri. Menjadi bagian karena ikut berperan aktif dalam sebuah gerakan untuk perubahan dan keadaan yang lebih baik. Perjuangan yang muncul dari kemauan diri dan kegelisahan hati. Menjadi dasar yang kuat untuk mau menentang tiran yang berdiri mengangkang.

Ada seorang tokoh nasional yang cenderung terlupakan sejarah, atau sengaja dilupakan. Tokoh nasional dengan pemikiran brilian dan ispiratif demi membentuk sebuah ide tentang negara yang merdeka dan penentuan atas nasibnya sendiri. Tan Malaka. Bapak bangsa yang terasingkan.

"Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya"

Kurang lebih begitu bunyi yang diutarakan Tan mengenai proses kelahiran ide. Ide muncul atas sebuah keadaan yang tidak memuaskan, dan sering kali lebih menyakitkan. Keprihatinan membuahkan kemauan dan pemikiran tentang ide-ide untuk mencapai keadaan yang lebih baik lagi. Dibutuhkan gairah muda secara pola pikir, yang jauh dari kemapanan keadaan. Pikiran muda yang begitu idealis untuk konsepsi sebuah ide yang brilian dan berani.

"Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda"

Pemuda adalah golongan dengan gelora semangat perubahan yang besar yang mengandung ide-ide luar
biasa, sebuah kekayaan yang tiada tara.

Apa yang disampaikan Tan 90 tahun lalu nampaknya masih sangat begitu relevan dalam konteks masa sekarang. Pemikirannya sangat visioner, bukan sekadar pikiran taktis untuk konteks satu jaman.

"Selama orang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan putch atau anarchisme hanyalah impian seorang yang lagi demam"

Bahwa sebenarnya banyak jalan untuk mencapai suatu kemerdekaan. Bila sebuah perjuangan turun ke jalan yang identik dengan bentuk vandalisme sudah dianggap begitu usang, maka itu bukanlah suatu kebuntuan. Kita hanya perlu untuk tetap berpegang pada tujuan, dengan mengambil alternatif jalan.

Menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk bisa merealisasikan ide yang kita buahkan memang suatu kebanggaan tersendiri. Namun begitu, untuk orang sekaliber Tan nampaknya perlu diberikan pengecualian. Perlu ada sebuah penghormatan yang nyata. Tanpa Tan, mungkin tidak pernah akan ada ide untuk negara seperti Indonesia atau keinginan untuk mencapai kemerdekaan.

Rabu, 03 Oktober 2012

Mengenang 40 hari Papa Hendromartono

"Ketika penyesalan menemui jawab, itu adalah momentum untuk kembali melangkah"

Penyesalan terdalam seorang anak adalah ketika orang tuanya berpulang, namun dia belum melakukan apa-apa untuk mereka. Kira-kira itulah yang saya alami ketika saya mendapat kabar bawah ayah saya telah berpulang. Saya terlarut dalam raungan duka dengan segenap perasaan sesal yang sebegitu saja terluap. Saya akhirnya menyadari betapa berharganya satu detik yang saya lalui.

Ketika ayah saya masih hidup, ada satu pertanyaan wajib yang selalu ia tanyakan. "Koe ki karo febry jujurane piye?" Ia menanyakan tentang rencana pernikahan saya. Jauh dari rencana hidup saya, rencana itu belum sempat terpikirkan. Tiga kali saya pulang ke rumah, saya selalu disodori pertanyaan itu. Dan saya selalu menjawab, belum kepikiran pah, harus lulus dulu dan kerja dulu baru nikah. Ayah saya hanya membalasnya dengan tawa kecilnya. Dia tidak menanyakan kapan saya lulus. Dia tidak menanyakan tentang mau apa saya ketika saya lulus. Dia hanya bertanya kapan saya menikah.

Pertanyaan itu yang menjadi beban itu lantas berubah menjadi sebuah tanggung jawab dan prioritas dalam hidup saya. Saya sadar bahwa saya tidak punya banyak waktu untuk menunaikan itu selagi ayah saya masih ada. Saya menatar dan menempa hidup dan mental saya lebih keras lagi. Saya ingin bisa mapan ketika saya lulus nanti. Namun, ternyata saya tidak punya cukup waktu untuk itu.

Satu minggu dari kabar duka itu datang, saya selalu terlarut dalam penyesalan dan refleksi tentang kebodohan masa lalu yang pernah saya lakukan. Saya meresapi betapa bodohnya menyia-nyiakan waktu satu tahun yang saya buang di SMA. Andai saya bisa melewati SMA tepat waktu, mungkin saya masih punya kesempatan untuk menunaikan tanggung jawab itu.

Hari terakhir sebelum kembali ke Tangerang, kami sekeluarga datang ke makam untuk berpamitan dan menghantarkan doa agar perjalanan ayah saya lancar. Kami datang sekeluarga ditemani beberapa teman dekat keluarga kami. Ketika turun dari mobil, kami langsung menuju makan untuk membersihkan beberapa daun kering yang ada di atas kuburan yang masih berrupa gundukan tanah itu. Ibu dan kakak perempuan saya masih asyik dengan kegiatan mereka untuk mengganti lampu sentir sebagai penerangan. Waktu itu sore hari sekitar pukul 5 sore.

Mami Rida yang ikut dalam rombongan langsung mengambil posisi berlutut di kepala kubur. Dia sedikit mengusap nisan salib yang tertanam. Tiba-tiba dia bersuara "Mah, sudah mah, nanti dulu, kita doa dulu mah".   Saya langsung menengok ke Mami Rida, saya sadar bahwa itu adalah ayah saya. Intonasinya, cara ia melafal, itu adalah benar-benar papa saya. Sontak, kami langsung mengambil posisi berlutut untuk berdoa. 15 menit lebih ia berdoa tanpa terbata. "Terima kasih Tuhan kau telah memberi keluarga seperti ini. Terima kasih kepada istriku tercinta, anak-anakku tersayang. Aku ikhlas dengan apa yang telah kalian lakukan dan berikan." Air mataku tak lagi bisa kubendung. Beban tanggung jawab dan penyesalan yang kurasa seketika itu juga seperti diangkat. "Papa telah ikhlas dengan semuanya, Aku pun harus ikhlas dan merelakannya tanpa ada penyesalan dan kesedihan".

Selepas dari situ, saya kembali berpikir mengenai situasi ideal yang ingin kuberikan ke orang tua sebagai anak. Ternyata seorang orang tua pun memiliki situasi idealnya sendiri terhadap anak-anaknya. Mulai dari situ aku berjanji bahwa air mata yang kutumpahkan di makamnya adalah air mata terakhir yang aku teteskan untuk dirinya. Aku ingin mengenangnya dalam kebahagiaan untuk menemaninya di keabadian.

Dukaku sebagai seorang anak sudah berakhir, Sesalku sebagai seorang anak sudah tuntas. Hanya kebanggaan yang kini hidup dalam benakku. Bangga karena boleh dilahirkan di tengah-tengah keluarga Hendromartono yang begitu luar biasa. Bisa dididik di dalam keluarga Hendromartono dalam ketabahan, keikhlasan, ketegaran, dan kesederhanaan. Keluarga yang berani berdiri tegap menghadang dan melawan badai. Hidup dengan darah Hendromartono yang hidup tanpa dendam. Hidup dengan daging Hendromartono yang Ikhlas memberikan tangannya untuk orang lain. Ayah yang begitu luar biasa. Satu-satunya patron yang akan selalu hidup dalam hati, pikiran dan jiwaku.

Senin, 01 Oktober 2012

Sepi Itu Indah

"Kadang manusia itu harus terjebak dalam sepi untuk bisa meresapi betapa nikmatnya kebersamaan,,,"


Kira-kira itu adalah kalimat penyejuk untuk menemani saat-saat sendiri. Sifat dasar yang selalu bertanya dan selalu ingin mencari jawab atas kegelisahan, atau mungkin sebagai pelarian dalam kejenuhan. Mungkin kita terlalu nyaman berada di tengah keramaian dan bisa begitu akrab dengan orang-orang di sekitar kita. Namun kala sendiri, kita menjadi rikuh pada diri sendiri.

Alih-alih mencari pembenaran dari sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial, kita terlalu dibenamkan dalam nyamannya kebersamaan. Seketika itu juga kita menjadi terlena dalam hasrat suka cita. Hasrat diri untuk ingin dimengerti, hasrat diri dalam popularitas dan eksistensi. Namun kala sendiri, kita menjadi seperti terasing, bahkan dengan diri sendiri menjadi saat-saat yang garing.

Kala sendiri, kita bukanlah apa-apa. Ironis. Kita bisa sebegitu akrab dengan pribadi lain tanpa bisa dekat dan mengerti diri sendiri. Maka pada saat itu juga, kita tidak akan pernah bisa menjadi diri kita sendiri di depan orang lain. Kita memilih menjadi apa yang ingin orang lihat dari kita.

Namun kita menjadi begitu tersentak ketika kita mempunyai banyak waktu bermesra dengan diri kita sendiri. Banyak hal dalam diri yang baru kita ketahui melalui lamunan dan refleksi masa silam. Waktu untuk sendiri memang kadang begitu sangat dibutuhkan saat kita mulai asing dengan diri kita sendiri. Ketika kita menarik jauh diri kita dari keramaian dan mengambil tempat di dalam sepi, kita baru melihat keindahan dari sebuah kebersamaan. Kita bisa sebegitu akrab bermesra dengan diri kita sambil memandang suka cita kebersamaan dari kejauhan.

Dalam hal ini, tidak ada yang salah dengan Sepi. Karena bila tidak ada sepi, maka kebersamaan akan terasa begitu hambar. Menikmati kesepian akan membuat kita bisa meresapi dan mengecap betapa nikmatnya kebersamaan. Menikmati setiap irama yang hadir dalam hidup membuat kita menjadi lebih bisa bersyukur pada hidup kita.

Sekilas Tentangku - PART II

Sampai pada akhirnya saya masuk di De Britto. Suasana baru, Yogyakarta. Membawa berjuta harapan dan asa untuk mendapatkan pembelajaran yang lebih baik. Pendidikan bebas yang ditawarkan mungkin membuat saya agak kaget. Kami bebas untu memilih dan menentukan pilihan yang akan kami ambil, yang dibarengi kesadaran akan batasan dan konsekuensi yang kami terima. Namun sayang, saya belum sempat mencerna itu lebih baik.

Kebebasan yang saya dapat merupakan ujian berat yang menghanyutkan. Situasi itu memberikan saya peluang untuk melakukan banyak hal yang saya inginkan. Menumbuhkan minat di kelompok pecinta alam. Menggandrungi olahraga panjat tebing, dan kegiatan yang lain. Terjun dalam organisasi Presidium. Banyak hal baru dan menantang yang saya ambil. Sampai pada suatu ketika ketika kenaikan kelas, saya tidak berhasil masuk ke jurusan yang saya inginkan. Kurang dua poin karena tidak mengikuti ulangan harian, membuat saya harus rela menerima masuk ke jurusan BAHASA.

"Jurusan apa ini?". Mungkin kalau tidak salah ingat, itulah frasa yang terpikir dalam otak kala itu. Baiklah, ini konsekuensi yang harus saya terima atas pilihan yang saya ambil sebelumnya. Tidak mudah memang. Hati saya mulai ikhlas ketika saya bisa mengenal dekat teman sekelas yang kala itu hanya berjumlah 10 orang. Jo, Maundri, C max, Toga, Rudy, Sudwi, Theo, Felix, dan Brandt. 10 penghuni kelas XI Bahasa.

Mungkin karena jumlah yang sedikit ini membuat kami lebih bisa dekat dan akrab satu sama lain. Kami berproses dan bermain bersama. 10 manusia yang memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. 10 manusia yang memiliki Dragon Ball. 5 orang dengan prestasi terendah. Saya, Toga, Brandt, Maundri, dan Sudwi. Tidak jelas kapan ada istilah ini. Namun dragon ball inilah yang membuat suasana kelas menjadi ramai, karena isinya ngelawak dan tertawa.

Kami berproses dan melewati banyak hal. Sedikit demi sedikit rasa sesal itu hilang. Bahasa adalah keluarga baru saya. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya ada di sini. Dengan dukungan dan semangat bersama, maka bahasa menjadi kelas yang solid dan menyenangkan.

Di kelas ini, saya belajar mengenai kebersamaan dan persaudaraan. Kami mencoba untuk berkembang bersama agar memperjuangkan dan membuktikan bahwa kelas bahasa bukan kelas buangan. Kami bisa memberikan yang terbaik di sini.

....

Minggu, 30 September 2012

Sekilas Tentangku - PART I

Mungkin coretan kali ini lebih pas dibilang sebagai refleksi atau bahasa anak jaman sekarang bilang curcol. Bagi yang mengalami adanya kesamaan peran, tokoh, cerita, bahkan detail nama, ini bukan sebuah kebetulan, namun memang benar-benar ada dan tersaji dalam lembaran kisah perjalanan hidup yang saya alami.

Mungkin agak sedikik membosankan kalo misalnya cerita dari pertama nangis pas lahir, jadi skip aja deh ceritanya sampe kelas tiga SMP. Seperti tradisi yang sudah ada dalam keluarga saya, setiap anak yang menjadi anak dari Alm. Papa dan Mama, tanpa terkecuali, harus belajar mandiri dengan hidup merantau. Kedua saudara saya telah mengalami fase itu, dan kala itu, tibalah giliran saya. 

"Mau ngapain kamu habis lulus nanti". Mungkin ini ada dalam skrip orang tua saya untuk membuka pembicaraan tentang rencana hidup saya kedepan. "Aku mau sekolah di Jogja, di De Britto". Aku sudah cukup mengetahui dan mencari SMA apa yang cocok dengan untuk mengembangkan karakter saya. Saya cukup kagum dengan SMA ini, SMA yang lahir dan tumbuh di tangan Yesuit. Cukup terkenal dalam konteks nasional, terutama untuk mereka yang tidak mainsetream, dan menyukai pendidikan alternatif. Pendidikan yang bukan sekadar menggembleng sisi kognitif seorang manusia. 

Kala itu, pilihan saya jatuh pada SMA Kolese De Britto karena saya ingin merasakan pendidikan bebas. Sebab ya, memang di De Britto, siswanya boleh tidak memakai seragam. Boleh memakai sepatu sandal, dan boleh memelihara rambut sampai panjang semampai. "Asik nih kayaknya". Pikiran itu yang kira-kira hinggap dalam benak saya. Bosan dengan pendidikan yang kaku dengan aturan baku yang kadang tak berdasar, maka, De Britto lah pilihannya.

Orang tua saya tergolong sangat demokratis untuk memberikan pilihan kepada kami menentukan masa depan kami masing-masing. Mungkin mereka malas memikirkan anak-anaknya, namun sebenarnya saya tahu, bahwa bukan itu alasannya. Mereka hidup dan berkembang juga karena merantau. Mungkin pengalaman dua insan yang sama, yang mengalami banyak hal positif, maka mereka terapkan kepada anak-anak mereka ketika mereka menjadi orang tua.

Tidak seperti dua kakak saya yang digembleng habis-habisan oleh Alm. Papa, saya mendapatkan perlakuan berbeda yang bisa dibilang "Istimewa". Kedua kakak saya harus membawa berpuluh-puluh kilo Vanili mentah untuk dijual ke magelang, yang uang hasil penjualannya akan mereka pakai sebagai biaya masuk di sekolah yang mereka pilih. Saya, cukup duduk manis di dalam kabin pesawat, menunggu 1 jam 30 menit di udara, dan tiba-tiba sampai di bandara Adisucipto Yogyakarta.

Hal ini memang improvisasi oleh orang tua saya. Papa saya sudah terlalu tua untuk bisa menerapkan hal yang sama sebelumnya kepada saya. Papa malah tidak ikut mengantar, dia tetap di rumah dan saya diantar oleh Mama saya. Sangat istimewa. Kedua kakak saya bilang saya adalah anak yang paling dimanja oleh orang tua kami. Mungkin memang begitu adanya, mengingat saya seorang bungsu yang kala kecil sakit-sakitan. Mungkin mereka terlalu terbiasa memberikan perlakuan lebih dan istimewa kepada saya. Saya lebih percaya mereka mengambil pilihan demikian karena memang keadaan menuntut demikian. keadaan yang tidak pernah bisa kami pahami sebagai seorang anak. Keadaan yang mungkin baru bisa kami pahami ketika kami sendiri mengalaminya dengan anak-anak kami kelak. 

....

Ikhlas

Kadang kita sering menghela nafas, terperangah dan diam, atau bahkan menangis terisak atau meraung, ketika kita mendapati situasi di luar spekulasi hidup kita. Respon diri untuk melawan ketika berhadapan dengan situasi ini sangat-sangat manusiawi. Kita akan lebih memilih untuk suka pada hal yang kita suka, dan memilih benci untuk hal yang kita benci. Namun begitu sangat jarang kita bisa suka pada hal yang kita benci.

Empat tahun silam saya pernah mengalami hal seperti ini. Mengalami rasa kecewa yang teramat sangat. Bukan kepada diri sendiri, namun pada orang yang sangat saya sayang dan cintai. Dia adalah salah satu orang yang membimbing saya dari kecil hingga saya besar. Dia adalah kakak yang teramat sangat dekat dengan emosional dan sisi sentimentil saya.

Tidak ada cela yang perlah dilakukannya semasa saya mengenalnya, sebelum hari itu tiba. Saya sangat marah dan kesal untuk mendengar dan dipaksa menerima kenyataan yang tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiran dan perasaan saya. Kala itu menjadi saat yang sangat penting. Rasa marah, kecewa, sedih, bercampur dalam satu wadah.

Empat tahun berlalu. Sekarang, kami semua bisa tertawa ketika harus kembali mengenang masa itu. Hari yang pernah kami lalui dengan tetesan air mata dan luapan emosi, bisa menyublim menjadi serangkaian guyon sore hari menemani obrolan dalam menikmati secangkir kopi. Kami mengenang itu dengan senyum dibibir, gelak tawa.

Seperjalanan pulang dari kediamannya saya berusaha mencerna dan melihat kembali tentang proses apa yang telah kami alami. Proses yang membawa kami menuju satu titik cerah untuk bisa melangkah dari keterpurukan. Melanjutkan dalam khayalan sambil nongkrong di kamar mandi. Kemudian duduk di beranda depan dengan secangkir kopi. Kilasan itu hanya membawa saya pada satu kata, Ikhlas. Kami telah berhasil mengikhlaskan hal buruk yang kami terima. Kami berhasil mengubur kenangan suram sampai iya bisa tumbuh menjadi pohon kendal yang rindang, hingga kami bisa berada pada situasi yang nyaman.

Ikhlas, adalah satu-satunya jawaban bagi saya untuk bisa menikmati ketidakenakan yang dialami. Ikhlas, adalah satu-satunya jawaban untuk alasan bisa melangkah. Ikhlas adalah satu-satunya alasan agar saya bisa menikmati tiap-tiap getir yang datang menghampiri. Proses panjang membawa pada satu fase yang menghadirkan pengalaman sebagai guru yang sangat berharga.

Jumat, 28 September 2012

Diskriminasi Agama

"Bersediakah saudara berdua menjadi Bapak Ibu yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada saudara dan mendidik mereka menjadi orang Katolik sejati?"


Bagi orang khatolik atau kristen, mungkin kalian tahu kalimat apa yang ada di atas. Ya, benar. Itu adalah salah satu kalimat yang ada dalam janji pernikahan dalam Khatolik. Mempelai disosori pertanyaan demikian dan diharuskan untuk menjawab "Ya, kami bersedia". Maka tafsiran yang muncul dalam hal ini bahwa agama dalam konteks Khatolik merupakan warisan. Warisan yang bukan diberikan ketika orang tua berpulang, namun warisan yang diberikan ketika sang anak mulai dikandung dan dilahirkan.

Hal itu juga saya alami sebagai individu bebas yang hidup di tengah keluarga Khatolik. Sedari bayi saya telah dibaptis dengan nama Yohanes. Siapa Yohanes? Yohanes yang mana? Apa saya memang membutuhkan pelindung dengan nama itu? Hal itu baru saya sadari ketika saya mulai beranjak dewasa. kesadaran bahwa apa yang saya alami merupakan penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh organisasi keagamaan, Khatolik. Siapa yang salah? Bukan itu yang saya pertanyakan. Saya lebih mempertanyakan dimana kebebasan dan kemerdekaan anak-anak Khatolik sebagai manusia? Apakah ketika Ayah dan Ibu saya menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang berbeda, lantas pernikahan mereka akan tergagalkan?

Mungkin orang tua saya menganggap hal itu sebagai beban sekaligus tanggung jawab mereka terhadap sumpah suci yang menyatukan mereka di hadapan Tuhan. Mengapa Tuhan hanya bisa diam dan tidak membela kami bayi-bayi yang tertindas?

Manusia hanya membutuhkan tempat tenang dalam hati mereka masing-masing untuk berintim dengan Tuhan mereka. Perayaan ekaristi di mata saya tidak lebih dari sekadar rutinitas ritual yang telah lama kehilangan arti di mata umat-umat yang mengikutinya. Lalu dimana letak kesakralan dari warisan 2000 tahun silam itu? Warisan yang dalam sejarah perkembangannya mengalami banyak tragedi berdarah dan politisasi. Tidak perlulah itu dibeberkan di sini.

Saya hanya memberikan pandangan bahwa ada banyak bentuk penindasan dari lembaga dan organisasi keagamaan itu. Manusia hanya memerlukan komunikasi vertikal dengan Tuhannya, serta melakukan komunikasi horizontal kepada sesamanya. Dan dua hal ini merupakan dua bentuk komunikasi yang sangat berbeda. Namun dua hal itu terlalu disamarkan dengan sejarah panjang lembaga keagamaan. Semoga kita dapat memilih dan memilah dengan sadar apa yang kita imani dan kita lakukan sebagai manusia yang mengaku beragama dan berTuhan. Hidup sebagai manusia yang manusiawi dengan kemampuan komunikasi vertikal yang magis kepada penciptanya.

Kamis, 27 September 2012

Pejuang Dalam Pelarian

Masih ingatkah kalian dengan peristiwa 65? Sebuah konspirasi politik terbesar yang pernah dialami negeri ini. Besar karena banyak kepentingan yang bermain di sana, baik oleh elit lokal, maupun kepentingan Internasional. Setelah berakhirnya PD II, dua negara besar saling terlibat perang dingin. Perlombaan untuk menjadi negara paling berpengaruh di dunia, baik secara ideologi, maupun peta kekuatan militernya.

Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno lebih condong ke Soviet, hal itu ditandai dengan hubungan bilateral yang harmonis. Soviet kala itu juga bukan karena tidak ada tendensi dekat dengan Indonesia. Ketika Indonesia masuk ke dalam arus komunis, maka garis tegak dari atas ke bawah belahan bumi itu akan dikuasai komunis, begitu pula dengan Australia dan negara boneka Malaysia.

Namun seperti biasanya, bahwa konspirasi merupakan agenda besar yang semata-mata hanya berorientasi pada tujuan akhir. menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Indonesia masuk ke dalam bagian yang harus dikorbankan. Caranya dengan menciptakan gejolak dengan skala nasional dengan dua agenda besar, Menumpas simpatisan dan partai komunis, serta menggulingkan kepemimpinan Soekarno. Jutaan nyawa melayang kala itu, nyawa mereka yang masuk sebagai anggota dan simpatisan PKI maupun nyawa orang-orang yang sengaja dikorbankan dan menjadi tumbal.

Dari jutaan orang yang terganjal peristiwa itu, ada satu orang yang berhasil selamat dengan menjalani 15 tahun hukuman yang dibagi menjadi dua, hukuman penjara dan tahanan kota. Orang ini sama sekali tidak terkait dengan gerakan partai-partai atau ormas-ormas. Orang ini murni hidup sebagai prajurit, sebagai militer.

Selama menjalani hukuman di nusa kambangan, dia melihat dan mengalami sendiri kejamnya penyiksaan yang tidak pernah terbayangkan di era manusia moderen abad 20. Biji jagung yang dikombilasikan dengan kerikil atau pasir, hampir menjadi menu wajib makan sehari-hari di dalam sel. Tidak sedikit yang mati akibat gangguan pencernaan. Namun dia berhasil bertahan sampai bebas dari hukuman penjara dengan cap OT di kanan atas kartu identitas kewarganegaraannya.

Dia berpikir bahwa dia tidak mungkin bertahan hidup dengan kondisi sosial masyarakat di Jawa yang sangat erat dengan peta konflik politik yang barusan terjadi. Oleh sebab itu dia pergi menyeberang lautan dan hidup di Kalimantan dan memulai bisnis elektronik. 30 tahun lebih dia menjalani hidup sebagai pelarian, sebagai orang yang dibuang oelh negaranya sendiri, negara yang dia bela, negara yang dicintainya. Tidak ada luka yang lebih dalam daripada luka orang yang dikhianati oleh sesuatu yang dicintainya.

Sampai akhir hidupnya dia hidup sebagai pelarian. Meski pada masa pemerintahan Gus Dur ada pemulihan nama baik kepada orang-orang yang tersandung kasus 65, namun itu tidak terlalu berpengaruh banyak. Titel PKI yang dicap orang kepada dirinya tidak membawa perubahan banyak dalam kehidupan sosialnya.Namun paling tidak, dia telah berhasil hidup sebagai pejuang. Pejuang yang berjuang untuk Istri. Pejuang yang berjuang untuk anak-anaknya. Pejuang yang berhasil menanamkan benih-benih perjuangan dalam tiap diri ketiga anaknya.

Masa perjuangannya telah berakhir sejalan dengan tutupnya usia. Perjuangan yang dia jalani semasa hidupnya kini telah dilanjutkan oleh ketiga anaknya. Tentu saja bentuk perjuangannya telah berbeda. Namun paling tidak nilai yang menghidupi perjuangan itu tetap sama. Dia orang yang sangat luar biasa. Inspirasi bagi hidupku. Ayah yang menjadi patron hidupku. Orang tua yang menjadi teladanku.

Rabu, 26 September 2012

Satu Malam Di Progo

Seperti biasanya, perjalanan Jogja - Jakarta adalah sebuah pembelajaran dan pengingat. Kereta ini punya nilai tersendiri buat saya. Ia merupakan sarana pengingat dan pembelajaran untuk saya. Kelasnya memang hanya Ekonomi, cukup dengan 35 rb, saya bisa sampai ke Ibukota kala itu. Sesuai dengan kelasnya yang ekonomis.

Sedikit kisah mengenai kereta ini yang mungkin tidak banyak orang tau. KA Progo pertama beroperasi pada akhir 70an. Selanjutnya pada awal 80an ada penataan ulang, salah satunya adalah kereta Senja Ekonomi Yogya dengan relasi Gambir - Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu, relasi diubah menjadi Pasar Senen -Lempuyangan, yang selanjutnya terjadi perubahan nama menjadi Empu Jaya yang merupakan akronim dari Lempuyangan - Jakarta Raya. Namun sayangnya dalam operasinya, kereta ini sering mengalami kecelakaan. Kemudian sekitar 2002 namanya kembali diubah menjadi KA Progo. Progo sendiri merupakan nama dari sebuah sungai yang ada di Yogyakarta.

Seperti kisah hidup kereta Progo yang panjang, sayapun memiliki sejarah panjang dengan kereta ini. "Kenapa sukanya nyiksa diri naik ekonomi dempet-dempetan. Nyiksa badan aja". Itu adalah kalimat yang sempat keluar dari mulut ibu saya. nampaknya dia begitu prihatin melihat anak bontotnya berdesak-desakan di Progo. Alasannya sederhana, saya mencari kenyamanan perjalanan.

Bicara tentang kenyamanan, tentu saja tolak ukurnya berbeda-beda. Bagi banyak orang, kenyamanan perjalanan adalah kursi empuk yang bisa diatur kemiringannya, kesejukan udara dari mesin pendingin, serta mungkin selimut dan bantal birunya. Hal ini tidak salah sama sekali. Namun yang jelas untuk saya, kenyamanan adalah ketika saya bisa bertemu dengan banyak orang dengan segala permasalahannya dan kami dapat ngobrol panjang lebar tentang segala topik sampai yang mengiringi perjalanan sampai ke kota tujuan. Tidak jarang saya berdiri beberapa jam karena penuhnya penumpang yang ingin berangkat. Sesaat dilain perjalanan ketika saya datang lebih awal saya mendapat tempat duduk. Namun tidak jarang pula tempat duduk saya yang nyaman harus saya ikhlaskan kepada seorang nenek atau ibu hamil, atau seorang ibu dengan bayinya. "Silakan bu, duduk di tempat saya". "Matur suwun mas". Tiga kata yang buat saya mampu menahan mulut saya untuk selalu tersenyum selama perjalanan. Kadang, hal itu merupakan salam kenal dan sapa untuk memulai perbincangan.

Ketika PT KAI belum merevitalisasi armadanya, banyak pedagang yang naik - turun dan lalu - lalang selama perjalanan. Mulai dari menjajakan makanan, buku, sampai barang-barang Cina yang multifungsi dan tentu saja murah meriah. Ketika kereta mulai masuk Cikampek, ada beberapa pengammen yang masuk dan memamerkan kebolehannya dalam bermusik. Ada pula anak jalanan bermodal sapu dan pewangi ruangan yang membersihkan gerbong dan menyemprotkan aroma wangi dari botol spray yang dibawanya. Semua dibayar dengan seikhlasnya.

Semua hal itu adalah kejadian yang tidak akan pernah ditemui di kereta lain yang kelasnya lebih tinggi. Dari hal-hal kecil ini saya mengamati dan mencoba merefleksikan diri. Merefleksikan keadaan diri yang saya alami dengan realita kondisi ratusan orang yang sekadar menumpang atau menjadikan kereta ini sebagai penyambung hidup mereka. Seburuk-buruknya situasi hidup yang saya alami, saya merasa masih lebih beruntung dari sebagian besar orang yang ada di sana. Beruntung karena situasi hidup saya tidak sekeras mereka. Beruntung karena saya bisa menjual kemampuan dari sekadar menjual tenaga. Beruntung karena masih bisa memberi untuk mereka yang meminta.

12 jam perjalanan untuk bekal kecil panjangnya kehidupan yang saya jalani. Kereta Progo memberikan pelajaran kecil agar saya selalu ingat dan tidak lupa diri dengan keberhasilan dan kesuksesan yang bisa saya raih. Untuk sekarang saya telah menetap di Tangerang. Selama saya masih lajang dan melakukan perjalanan sendiri, Kereta Progo akan tetap menjadi prioritas mode transportasi untuk mengantarkan saya kembali ke Kota Jogja. Berjumpa dengan guru-guru luarbiasa yang mau membagi sepenggal cerita yang sangat menginspirasi untuk saya.

Lika-Liku Cinta

Salah satu hal yang terindah yang dialami manusia adalah jatuh cinta. Dan salah satu hal yang paling menyedihkan dalam hidup manusia adalah putus cinta. Kenapa cinta begitu bisa membuat fluktuasi suasana hati kita? Kenapa yang namanya cinta itu begitu mempengaruhi pengambilan sikap dan keputusan cinta? Kita tidak akan pernah tahu bagaimana cara menanggapi kedatangan cinta bila kita belum mengenal cinta itu sendiri.

Cinta, memiliki rasa dan interpretasi berbeda pada setiap manusia. Tentu saja berbeda, karena pengalaman manusia tentang cinta juga berbeda. Namun di dalam perbedaan itu, cinta akan dirasa sama ketika pertama datang, menyenangkan, menyejukkan dan membahagiakan. Sampai sini masih setujukan? hehehehe...

Cinta begitu terasa membahagiakan karena pengaruh dari perpaduan reaksi kimia dan hormon-hormon dalam tiap sel tubuh menghasilkan reaksi dan perasaan yang disebut cinta. Kalo kata Dr. Domeena Renshaw dari Universitas Loyola, ada yang namanya peningkatan alirah darah menuju kepala dan berfokus di otak. Hal ini tidak jauh berbeda dengan orang yang sedang kecanduan. Tapi semua itu adalah hasil penelitian, saya lebih percaya kalau cinta itu adalah anugerah sekaligus kutukan. Punya pengaruh yang berbeda sesuai dengan karakter orang yang mengalaminya.

Mari kita masuk ke inti pembicaraan. Perasaan cinta yang begitu mendalam mampu membuat orang mabuk kepayang, melayang-layang sampai lupa daratan. Perasaan ini adalah murni dari respon perasaan yang tidak lain didalangi oleh hati. Dan hal ini kita sebut dengan penyikapan cinta. catat baik-baik. Hati mengambil peran yang besar dalam pengambilan keputusan. Ini sangat menyenangkan sekali, karena membuat kita seperti terhipnotis. Namun celakanya, hal ini menjadi permasalahan besar ketika si pecandu cinta mengalami putus cinta. Nah lo,,,

Dalam situasi seperti ini, seseorang akan galau stadium empat, mengalami sedikit sesak napas, sampai pada peningkatan kadar emosi diri untuk berteriak bahkan memukul orang. Ini adalah fase yang pertama. Respon singkat dari hati untuk menanggapi situasi seperti ini. Fase kedua adalah orang mengalami halusinasi dan bayang-bayang yang punya imbuhan "seandainya". Seandainya apa yang kulakukan kayak gini, seandainya aku gak ngelakuin itu, seandainya aku bisa... dan banyak pengandaian yang lain. Dalam situasi ini, seorang pecandu berat cinta akan mengalami depresi dengan tanda-tanda bengong, skip, sampai pada penyakit lupa. Lupa makan, lupa mandi, dan lupa sebagainya. Alhasil, semua terabaikan dan orang ini lebih memilih untuk menikmati penderitaannya (penderitaan kok dinikmati). Fase ketiga yang punya masa sangat lama adalah keadaan Stuck dan tidak bisa Move on. Hayo lo,, sering kan begini... Orang ini akan mengambil asumsi bahwa mantannya itu adalah orang nomor satu yang punya paling segalanya. Dalam fase ini, seseorang biasanya cenderung membubuhi bumbu penyedap galau, semisal lagu-lagu galau, film-film drama galau, serta bumbu penyedap lainnya, sambil terus meratapi kekasih hatinya yang sudah pergi dan menghilang. Dalam fase ini pula, seseorang bila ditanya kenapa dia tidak Move on, maka ia akan menjawab: "Dia itu sangat spesial, susah buat gak mikirin apalagi ngelupain. Kayaknya gua akan terus nunggu dia. Siapa tahu gua bisa balik lagi sama dia". Kalau seseorang sudah mulai berkata demikian atau minimal nyerempet-nyerempet intinya, maka fix orang ini Stuck dan akan menikmati paket combonya, galau tak berujung yang pada akhirnya membuat menderita tiada akhir.

Kalau kita uraikan satu-satu dan mulai memasukan unsur logika, bukan hanya hati, maka sebenarnya seseorang itu akan sia-sia menunggu. Dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Tau kenapa?? Karena orang yang lu tunggu bukan berada di belakang lu, dia udah ada jauh di depan lu. Maka kalo lu nunggu, lu akan jadi semakin jauh dari itu orang. Harusnya lu gak nunggu, lu coba pake otak dan badan lu. Tanya dulu hati lu maunya apa, mau lanjut sama orang itu apa pindah ke lain hati. Lalu selanjutnya lu pake otak lu buat bilang ke badan lu supaya lu lari biar bisa ngejar orang yang ditunjuk sama hati lu. Bodo amat mau diterima apa ditolak mentah-mentah, tapi seenggaknya lu udah bisa Move on. Ketika lu udah ada di fase ini, maka ini adalah sebuah titik cerah.

Suasana hati begitu mempengaruhi pengambilan keputusan kita. Bila ada istilah cinta itu buta, agaknya saya kurang setuju, karena akan lebih tepat kalo dibilang cinta itu tolol. Kita gak perlu pake otak buat merasakan cinta. So, apa kalian sudah bergerak dari perhentian dan penantian panjang kalian? Trauma kak,,, hahahaha... Alesan klasik yang jadi bagian dari sekutu penguasa hati yang mutlak.

Teman saya pernah bilang kalau galau itu sebuah kepastian. Mau orang itu senang atau sedih, galau itu pasti datang. Tapi yang perlu diingat adalah Menderita itu pilihan. hehehe.. semoga bermanfaat ya...

Saya Nasrani

Agamamu apa?

Pertanyaan yang kadang membuat saya kesal karena punya tendensi untuk mengharamkan kepercayaan yang saya anut. Nama saya Yohanes Preva Dimas Wihendarto. Ketika orang melihat nama itu, mereka bisa seketika itu tahu bahwa saya seorang Jawa yang menganut kepercayaan nasrani. Karena Yohanes merupakan nama rasul dalam sejarah gereja Khatolik, serta Wihendarto dengan huruf "O" di akhir nama yang mewakili etnis Jawa. Sejujurnya saya kurang nyaman dengan hal itu. Oleh sebab itu saya selalu memperkenalkan diri sebagai Preva Dimas, tanpa Nasrani, tanpa Jawa. buat sebagian orang, mungkin saya pengecut, namun saya tidak perlu memberikan pembuktian kepada mereka bahwa anggapan itu salah.

Dalam konteks budaya di Indonesia, masyarakatnya yang telah terlalu lama terkotak-kotak dengan Agama dan Ras membuat saya kurang leluasa dalam mengambil peran di ranah publik. Sesekali ada saja orang yang berani menanyakan Agama saya apa. Bukan untuk suatu kepentingan, namun hanya untuk sekadar memberi posisi saya di mata mereka. hahaha... Picik.

Mungkin banyak saja orang yang mengalami kejengahan seperti yang saya alami ini. sebagian besar dari mereka mengambil langkah untuk menanggalkan Agama dan kepercayaan akan Tuhan. Anggapan bahwa agama hanya menjadi pemecah dalam kehidupan sosial. Bagi saya, realita ini tidak bisa dimaknai sama untuk setiap sisi. Ada sebuah kekosongan dalam diri manusia yang tidak pernah ada jawabnya. kekosongan ini seringkali diisi dengan memasukkan konsepsi akan dzat yang menciptakan alam semesta, dzat yang memberi kehidupan. dzat yang memelihara kehidupan. dzat yang akhirnya dipahami sebagai Tuhan.

Secara kepercayaan, saya mengimani Kritus. Bukan karena dia anak Allah seperti cerita dan kisah dalam Alkitab. Namun karena sosok yang ada pada dirinya begitu menginspirasi dan seringkali menjadi pemecah kebuntuan pada situasi sulit yang saya alami. Situasi yang muncul karena arogansi dan ego kita sebagai manusia. Mungkin bila Gabriel mendatangi Maria dan berkata bahwa Maria harus memberi anaknya nama "Ucok", maka Ucoklah yang akan saya Imani.

Kekaguman saya bukan pada kebangkitanNya, namun lebih pada sikap dan sifat hidup Kristus sendiri. Maka dalam hal ini saya akan tetap mengimani Kritus terlepas Ia akan bangkit dari kubur dan naik ke surga. Meski Ia membusuk di kuburnya, saya akan tetap mengimaniNya.

Mungkin ini lebih terasa seperti promosi kepercayaan. Namun yang ingin saya sampaikan adalah saya sedang berbicara mengenai kepercayaan yang saya anut, bukan membicarakan Agama yang tertulis di KTP saya. Karena ketika kita membuka diri untuk mendengar apa yang dipercayai orang lain, hal itu akan lebih nyaman untuk diperbincangkan. Ketimbang kita gontok-gontokan berbicara mengenai Agama yang sangat erat kaitannya dengan budaya tempat agama itu lahir, serta politisasi agama itu sendiri.

Kepercayaan cukup hidup dalam diri masing-masing, sebuah hubungan sakral antara manusia dengan penciptanya. Ketika manusia hidup dalam sosial masyarakat, maka kepercayaan itu tersampaikan melalui sikap hidup dan perilaku keseharian. Pemaknaan terdalam pada sebuah kepercayaan adalah pada penerapannya, bukan sekadar wacana untuk dipergunjingkan.

Maka untuk menjawab pertanyaan pembuka di atas adalah "Saya Nasrani". Tidak pakai Khatolik, Protestan, Ortodoks, atau yang lainnya. Saya hanya mengimani pribadi manusia teladan dalam diri Kristus.

Aku Jawa, Kamu Cina, Lantas..??

Bagi saya, ada beberapa hal klasik yang tidak akan pernah habis diperbincangkan, Tuhan, Seks, Politik, dan Budaya. Empat topik ini selalu saja membawa wawasan baru yang diwakili oleh tiap individu yang tentunya juga berbeda. Namun dalam hal ini saya ingin berbicara mengenai topik Budaya. Dalam pembahasan ini, Budaya juga mewakili lingkungan serta latar belakang ras.

Masalah klasik yang sering diutarakan adalah stereotipe untuk setiap etnis. Pemberian lebel tertentu kepada etnis memang kadang bisa memberikan pencerahan untuk identifikasi, namun menjadi sebuah bumerang bila hal itu dimaknai kaku pada tiap individu. Hal ini mungkin sangat erat kaitannya dengan konsepsi Tuhan dan kepercayaan yang hidup dalam diri seseorang.

Buat saya, Latar belakang budaya ini merupakan sebuah kutukan atau orang berTuhan bilang adalah Takdir. maka dalam hal ini Takdir buat saya hanya meliputi dua hal saja, mengenai kelahiran dan mengenai kematian. Dua hal yang tidak bisa kita pilih dan pada akhirnya hanya menjadi sebuah kutukan yang pasti kita alami. Dan karena dua hal ini bukanlah sebuah pilihan, maka akan sangat tidak adil bila dalam keseharian kita mempermasalahkan hal ini. Contoh, kita sering terjebak dalam dilematis hubungan yang mewakili permasalahan perbedaan ras. Dalam keseharian saya banyak menemui tipikal orang yang buat saya begitu radikal mengutuk kutukan orang mengenai latar belakang ras. Begitu kental terasa ketika saya menjalin hubungan dengan wanita yang kebetulan memiliki perbedaan latar belakang ini.

Ketika saya telah sampai pada titik jengah dengan stereotipe yang ada di masyarakat, saya berkomitmen bahwa pendamping hidup saya kelak adalah wanita yang memiliki latar belakang ras yang berbeda dengan saya. Pembuktian untuk diri sendiri sebagai bentuk kepuasan diri bahwa saya bisa tetap bahagia ketia memilih untuk keluar dari kebenaran umum.

Berkaitan dengan hal ini, ras Tionghoa dan Pribumi memiliki jurang pemisah yang dibelah oleh stereotpie tadi. Anggapan orang pribumi, bahwa orang Tionghoa adalah ras yang serakah, pelit, dan suka mengintimidasi dengan kekuatan ekonomi. Anggapan orang tionghoa, bahwa orang pribumi adalah orang-orang yang tidak punya masa depan. orang-orang malas yang tidak mau berkembang dan suka menipu dengan mewakili kepribumian yang dimilikinya.

Buat saya situasi ini sangat gila, dari sudut pandang manapun tidak ada pembenaran yang bisa diterima dengan anggapan-anggapan semacam ini. Bahwa kita dilahirkan itu merupaka kutukan sekaligus anugerah yang tidak satu manusiapun bisa memilih sebagai apa dia dilahirkan. Sangatlah kejam diri kita bila di dalam otak kita masih terbesit anggapan seperti ini. Bila saya punya masalah dengan latar belakang Agama yang saya anut, yang kebetulan berbeda dengan pasangan saya, hal itu bisa diselesaikan dengan sebuah pengkhianatan untuk berpindah agama. Namun ketika permasalahan itu justru muncul pada perbedaan ras, maka tidak akan ada penyelesaiannya, karena tidak mungkin seorang Manado bisa menjadi seorang Ambon.

Dalam perjalanan pembuktian ini memang terasa sulit, namun saya percaya dengan prinsip yang saya pegang bahwa tidak ada yang salah dengan perbedaan ras ini. Saya percaya bahwa Mozaik itu indah, walau berbeda, namun bisa indah dipandang. hahahaha... Kadang saya tertawa dalam kebingungan semacam ini. Ada apa dengan pemahaman budaya yang ada di Indonesia. Kepentingan politik masa lalu yang mengkotak-kotakkan kita lantas berevolusi menjadi stereotipe yang kita amini.

Saya punya latar belakang Jawa, saya bangga dengan itu. Tidak masalah. Bagaimana kamu??

Pengikut