Selasa, 16 Oktober 2012

BADUY: Tak Sekadar Jalan-Jalan (part I)

Kisah perjalanan ini bermula dari sebuah rencana tak terduga. Kala itu saya dan seorang teman sedang berpikir untuk mengisi libur singkat di bulan April, bertepatan dengan Hari Raya Paskah. Rutinitas sakramentalia di gereja nampaknya sudah menjadi terlalu abstrak untuk diikuti. Rasanya kami ingin memaknainya langsung di dalam keseharian lewat interaksi dan pengalaman hidup.

Menepi dari hingar-bingar kota. Mencari makna dalam kesunyian. Mengalami pengorbanan untuk mendapatkan nilai. Belajar tentang hidup dengan menjalani hidup itu sendiri. Pilihan jatuh pada desa Baduy. kebetulan salah seorang teman saya yang lain memiliki akses langsung dengan orang di Baduy dalam. Rencana disusun bersamaan dengan janji dengan kawan di Baduy dalam.

Kala itu hari Jumat. Ketika nasrani menjalani prosesi jalan salib, kami (Saya, Ardo, dan Wahyu) melakukan perjalanan dengan pengorbanan pula. Berkumpul di Stasiun Serpong, tiga orang pergi menumpang kereta api menuju Rangkas Bitung.

Gerbong yang kami naiki bukanlah gerbong penumpang. Hanya ada jendela, tidak ada pintu. Kami masuk lewat jendela dan duduk bersila. Melihat orang banyak dengan ekspresi mereka masing-masing. Melihat orang dengan segala barang bawaannya, termasuk seekor ayam pun ada. Mungkin terdengar begitu kumuh, namun kami tetap menikmati semua. menikmati perjalanan dengan khikmat.

Kereta berhenti. Kami bergegas keluar. Tentu saja melalui jalan masuk kami tadi, jendela. Wahyu sempat membantu seorang ibu yang kesulitan turun dari jendela, karena memang jarak antara jendela-tanah terlalu jauh. Kepekaan dan inisiatif yang cukup menyentil saya. Sangat sederhana, namun begitu sangat menunjukkan betapa menolong orang lain dengan pengorbanan itu bisa menghasilkan senyuman.

Dari stasiun Rangkas Bitung, kami menumpang angkot menuju sebuah terminal. Terminalnya tergolong kecil. Lebih didominasi oleh angkutan jenis Elf. Kebetulan hari itu lalu lintas angkutan cukup padat, sehingga kami bertiga tidak mendapat kursi di angkutan. Seketika itu juga, ide gila muncul. "Gimana kalo di kap mobil aja", kata salah seorang teman saya. Karena kami tidak punya banyak pilihan, maka pilihan ini kami ambil. Kami hanya ingin sampai ke Baduy tepat dan berjumpa dengan kawan kami, orang Baduy Dalam.

Sekitar 3 jam perjalanan mengantarkan kami dari Terminal menuju desa Ciboleger, desa terakhir yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Sesampainya di sana, kami langsung disambut oleh kawan kami, Sapri yang kebetulan membawa serta kawannya, Asmin. Kesan pertama yang saya dapatkan adalah "Wow, mereka masih anak-anak ternyata". Hal itu terlihat dari bentuk wajah keduanya. Kami rehat sejenak untuk merenggangkan otot kami yang kaku setelah menegang selama 3 jam perjalanan. Kopi dan pisang goreng menemani rehat kami.

Perbincangan ringan membuka interaksiku dengan kawan baru dari Baduy Dalam ini. mereka tidak terlalu primitif untuk diajak berbincang. Ini pengalaman pertama saya berbincang dengan penghuni Baduy Dalam. Mereka cukup punya wawasan di luar adat istiadat mereka. Pengetahuan mereka tentang Jakarta membuat saya cukup tercengang, sebab mereka ternyata cukup mengenal Ibu Kota.

Setelah rehat, kami memutuskan untuk memulai perjalanan. namun baru beberapa menit berjalan, hujan turun dan semakin deras. Maka kami sepakat untuk berteduh dan menunda perjalanan sampai hujan reda. Kami berteduh di teras rumah salah seorang warga Baduy Luar. Kesempatan ini membuka waktu yang cukup banyak untuk kembali berbincang. Perbincangan ringan yang disisipi sedikit humor untuk melepaskan tawa. Dua jam berlalu, hujan pun akhirnya mereda. Kami melanjutkan perjalanan.

Kala itu, jalan setapak dari tanah terasa sangat licin. Beberapa kali Ardo harus tergelincir dan kehilangan keseimbangan. Namun dua rekan kami dari Baduy Dalam nampak santai mengambil langkah. Mereka tidak memakai alas kaki. Maka, kami pun mengikuti contoh itu, dengan harapan bisa terbebas dari licinnya jalanan.
Seperjalanan, kami melewati pemandangan yang begitu luar biasa indah. Melewati danau yang begitu jernih airnya. Melintasi punggung bukit yang menyajikan pemandangan elok punggungan bukit dengan kabut tipis di lembahnya. Ditambah, udara segar yang menambah nikmatnya perjalanan kami. Sering saya mengambil nafas dalam untuk menikmati betapa nikmatnya udara, udara yang disajikan cuma-cuma. Suasana yang begitu damai segera menjadi imaji di kepala.

3 jam perjalanan dengan jalan kaki tidak terasa. Melewati sungai yang menjadi pembatas antara wilayah Baduy Dalam dan Baduy Luar. Menikmati teduhnya rumah singgah di ladang yang kami lalui. Meneguk betapa segarnya air sungai yang begitu bersih dan segar. menikmati hasil bumi dari buah durian yang beruntung masih bisa kami rasakan. Semuanya itu menjadi bumbu perjalanan kami selama 3 jam menuju Baduy Dalam.

Alat komunikasi kami matikan dan kami bungkus di dalam tas. Sebab aturan adat di Baduy Dalam tidak memperbolehkan adanya pemakaian alat elektonik. Tidak masalah. Semua itu hanya tidak bisa divisualkan. Namun tetap bisa tersaji melalui tulisan.

Sebelum masuk ke perkampungan, ada sebuah lokasi tempat penyimpanan beras. tempat penyimpanan itu seperti rumah minang, namun dalam bentuk mini. Sekitar 2 x 2 meter saja. Cukup tinggi. Dan hanya ada satu pintu kecil yang terletak di bagian atas untuk memasukkan dan mengambil beras. Tidak jauh dari lokasi itu, ada sebuah jembatan yang terbuat dari bambu yang menjadi penghubung dan pintu gerbang perkampungan.

Perkampungan yang kami datangi ini merupakan perkampungan atau desa tempat tinggal Sapri dan Asmin. Perkampungan itu bernama Ci Beo. Terdiri dari beberapa puluh rumah yang berarti beberapa puluh keluarga. Sebab aturannya di sini, setiap orang yang menikah, wajib hidup dengan keluarganya, bukan dengan orang tuanya. Kebetulan Sapri belum menikah, maka ia masih tinggal dengan orang tuanya.

Rumah-rumah di sama cukup unik. Tidak ada sebilah paku yang menjadi perekat. Semua balok terpasang dengan kuncian yang sengaja dipahat dan ibuat agar kuat menyangga dan menjadi pondasi yang kokoh. Sangat harmoni.

Pengalaman berharga berikutnya kami dapatkan ketika selesai makan malam. Kami kembali berbincang di halaman depan rumah, tepatnya di pinggir jalan. Penerangan hanya menggunakan sebuah lampu yang terbuat dari botol kaca, sumbu, dan minyak tanah.

Di dalam suasan gelap itu, saya mulai mengajukan beberapa pertanyaan mengenai konsepsi adat istiadat Baduy Dalam. Menurut penjelasan Sapri, menjadi orang Baduy Dalam itu adalah sebuah kehormatan. Hal itu karena identitas itu merupakan warisan. Orang Baduy Dalam bisa dengan mudah menjadi orang Baduy Luar, namun tidak sebaliknya. Orang Baduy Dalam memiliki peraturan yang sangat ketat, apalagi bila itu berkaitan dengan adat istiadat. Salah satu contoh adalah Orang Baduy Dalam tidak boleh berbohong. Orang Baduy dalam tidak boleh memiliki alat-alat elektronik. Tidak boleh menggunakan kendaraan. Tidak boleh mengotori sungai dan lingkungan. Dan semua aturan itu diawasi oleh seorang tetua adat yang akrab mereka panggil Pu'un.

Hal yang saya anggap luar biasa adalah kejujuran mereka. Ketika mereka bepergian ke Jakarta yang notabene jauh dari kampung, mereka masih memegang teguh prinsip untuk tidak memakai kendaraan, padahal, kalau mereka melakukan itu pun tidak ada warga Baduy Dalam yang melihat. Namun mereka tidak mengambil pilihan itu, bahkan hal itu tidak pernah hadir sebagai pilihan di kepala mereka. Di tengah perkembangan budaya msyarakat yang serba kebelinger seperti ini, ternyata ada yang masih berpegang teguh pada konsep kejujuran.

Setelah perbincangan yang cukup serius itu, maka mulai masuklah kami ke perbincangan ringan. Tiba-tiba asmin bertanya mengenai bulan yang kadang muncul dan kadang menghilang. Saya pun menjawab dengan sedikit mengingat-ingat pelajaran di SD dan SMP mengenai astronomi. Saya mencoba menjelaskan hal ilmiah dengan penjelasan populer. Namun dengan penjelasan itu, mereka hanya merespon dengan kata "Oooo..." Lalu menyambung pertanyaan sebelumnya, maka ia bertanya kembali dengan polosnya, "Terus, bisa nggak orang pergi ke bulan?" Wahyu menjawab menggunakan konsep pesawat ulang alik. Namun Sapri  bertanya lagi, "Bisa nggak orang pergi jalan kaki ke bulan?". Wahyu menjawab dengan tegas "Ya nggak bisa, makanya, selama orang Baduy Dalam nggak boleh pake kendaraan, Sapri dan Asmin nggak bisa pergi ke bulan". Jawaban itu lantas membawa gelak tawa yang memecah pekatnya malam itu.

Mereka orang yang polos. Mereka seperti sebuah kertas putih yang sedang diisi dengan tulisan dan gambar. Mereka masih terlalu kosong secara pengetahuan umum. Namun untuk soal harmonisasi alam, mereka adalah guru saya. Sangat sulit berpegang teguh dengan prinsip seperti itu di tengah kehidupan serba moderen seperti ini. Namun dari situ, minimal saya bisa belajar untuk memahami sebuah ketulusan dan kebanggaan.

Nampaknya terlalu banyak yang bisa diceritakan dalam perjalanan ini. Belum kami menutup mata, masih ada dua hari lagi yang belum sempat tertuang di sini.

#Bersambung....

Selasa, 09 Oktober 2012

“Stopping The Presses For Good”

Surat kabar atau yang akrab disebut koran merupakan salah satu media komunikasi yang paling tua yang masih bertahan sampai sekarang. Koran menjadi populer ketika ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg pada 1450. Walau pada awalnya biaya untuk mencetak sebuah koran sangat mahal, namun seiring dengan berkembangnya teknologi masalah finansial ini bisa diatasi.

Memasuki abad ke-19, koran mulai mendapat saingan dengan munculnya radio sebagai sarana komunikasi baru yang jauh lebih cepat. Pada saat itu banyak orang berpendapat bahwa koran akan mati karena penikmat berita akan beralih ke radio. Namun agaknya hal ini bukan menjadi masalah lagi ketika ancaman itu tidak terbukti. Apalagi ketika alih fungsi radio menjadi sarana hiburan.

Pada abad ke-20 muncul ancaman baru untuk koran, yaitu televisi. Televisi lebih memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh media lain seperti koran atau radio. Televisi mampu menampilkan audio (suara) sekaligus video (gambar). Namun lagi-lagi hal ini bukan menjadi masalah ketika ancaman televisi tidak terbukti untuk eksistensi koran dalam dunia media masa.

Pada masa sekarang ancaman untuk koran kembali muncul. Sarana komunikasi tercepat yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia, yaitu internet. Internet seperti yang telah kita ketahui adalah sarana komunikasi berbasis komputer. Internet memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh koran, seperti cakupan isi, kecepatan, sampai efisiensi. Internet merupakan sebuah tantangan serius bagi eksistensi koran. Maka pertanyaan yang muncul adalah, mampukah koran bertahan dan tetap eksis dengan munculnya media komunikasi yang memiliki banyak kelebihan ini?


Menghadapi Tantangan 

Dalam film dokumenter yang berjudul “Stopping The Presses For Good” dijelaskan bahwa dampak yang ditimbulkan dari berkembangnya sarana internet ini akan mengancam keberadaan koran sebagai sarana komunikasi klasik yang masih bertahan sampai sekarang. Fasilitas untuk mengakses internet sudah sangat berkembang.

Kelemahan koran yang paling terlihat adalah dalam hal kecepatan penyampaian berita dan cakupan (banyak) berita yang disajikan. Dikatakan bahwa koran akan mendekati akhir masa jayanya atau bisa dibilang akan mati. Apakah hal ini benar? Mungkin benar dan sangat mungkin salah. Masyarakat modern dalam konteks media masa yang diramalkan adalah masyarakat yang memiliki sebuah alat yang bisa mengakses internet dimanapun berada.

Kebutuhan masyarakat akan berita sudah sangat besar. Generasi sekarang adalah generasi yang serba digital. Masyarakatnya adalah orang yang memiliki tingkat kesibukan yang sangat tinggi. Maka dari situ internet menjadi solusi yang sanggup menjawab kebutuhan ini. Namun hal yang paling mendasar yang harus dilihat adalah keberadaan koran di masyarakat. Koran bukan hanya menjadi sebuah media yang berkutat dalam penyampaian berita saja. Koran memiliki aspek penting yang bisa membuatnya bertahan menghadapi segala tantangan yang muncul. Aspek itu adalah budaya. Budaya ini terbentuk karena intensitas hubungan manusia dengan koran ini sangat tinggi. Kebiasaan ini membuat manusia menanggapi koran menjadi sebuah kebutuhan yang pada akhirnya berlanjut menjadi budaya yang telah menyatu dengan masyarakat.

Film “Stopping The Presses For Good” mengatakan bahwa internet adalah ancaman serius bagi eksistensi koran. Hal ini terbukti dengan penurunan jumlah penjualan koran yang cukup signifikan di Amerika yang mencapai 28%. Ancaman ini saya akui memang sangat serius. Namun ancaman ini bisa disiasati dengan membuat inovasi dalam penyajian koran.


Inovasi Itu Penting 

Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah perubahan dalam penyajian berita. Koran jelas tidak mungkin menang dalam hal kecepatan, maka yang harus ditekankan adalah segi investigasi yang lebih mendalam sehingga membantu pembaca dalam mencerna berita. Karena bila koran hanya menyajikan fakta saja, maka hal itu sama saja seperti berita yang ada dalam internet.

Pembaca bukan hanya sedakar ingin tahu soal apa yang terjadi, namun juga kupasan berita yang berbobot dan berkualitas dari si penyaji berita. Hal lain yang perlu dilakukan adalah penambahan variasi isi koran. Koran tidak boleh hanya soal berita yang “berat-berat” saja, namun juga mesti diselingi dengan berita yang ringan, seperti berita pariwisata, mitos, dan lain sebagainya. Mengingat sejarah dari koran dan hubungan dengan penikmatnya saya yakin bahwa koran akan sangat mungkin bertahan dengan kehadiran internet.

Film yang berjudul “Stopping The Presses For Good” hanya menjelaskan kemungkinan logis yang mungkin akan terjadi dengan kehadiran internet sebagai sarana pemenuhan kebutuhan akan berita, tanpa melihat aspek historis dan kualitas isi dari sebuah koran. Koran akan mampu bertahan apabila koran membuat inovasi dalam penyajiannya.

Senin, 08 Oktober 2012

Sajak Untuk Sahabat

Terkadang manusia harus larut dalam relaksasi alkohol untuk meraih sebuah utopi soal indahnya dunia di luar yang sedang hadapi. Terkadang kenyataan itu memang terasa sangat pahit. Menguras semua perhatian dan pikiran untuk berkutat dalam angan yang tidak bisa terbayar.

Kenyataan memang bukan untuk diendapkan dalam pikir dan angan. Kenyataan akan terasa lebih sensasional ketika kita mencumbunya. Mencumbu dengan mesra untuk menikmati betapa pedihnya ia. Mencumbu untuk dengan mesra untuk merasakan betapa ada sisi yang jauh tak terpikir dalam angan.

Luapan emosi yang dibawa butir buih alkohol mungkin bisa mengantarkan kita melayang jauh pada kenyataan. Namun seperti sifat buih, ia akan hilang dan sirna begitu saja. Kembali membawa kita dalam kenyataan.

Tidak ada yang menyalahkan manusia yang melarikan diri dalam angan. Namun ia akan menjadi ironi ketika kita merasa nyaman dan tidak ingin kembali pada kenyataan.

Aku akan selalu ada menemanimu duhai sahabatku.
Aku akan ikut larut bersamamu dalam suasana suka, suasana lara.
Kembali membawamu dan menemanimu dalam kenyataan.

Kamis, 04 Oktober 2012

Terbenam Sejarah: "Tan Malaka"

Menjadi bagian dari sejarah merupakan sebuah kebanggan dan kepuasan tersendiri. Menjadi bagian karena ikut berperan aktif dalam sebuah gerakan untuk perubahan dan keadaan yang lebih baik. Perjuangan yang muncul dari kemauan diri dan kegelisahan hati. Menjadi dasar yang kuat untuk mau menentang tiran yang berdiri mengangkang.

Ada seorang tokoh nasional yang cenderung terlupakan sejarah, atau sengaja dilupakan. Tokoh nasional dengan pemikiran brilian dan ispiratif demi membentuk sebuah ide tentang negara yang merdeka dan penentuan atas nasibnya sendiri. Tan Malaka. Bapak bangsa yang terasingkan.

"Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya"

Kurang lebih begitu bunyi yang diutarakan Tan mengenai proses kelahiran ide. Ide muncul atas sebuah keadaan yang tidak memuaskan, dan sering kali lebih menyakitkan. Keprihatinan membuahkan kemauan dan pemikiran tentang ide-ide untuk mencapai keadaan yang lebih baik lagi. Dibutuhkan gairah muda secara pola pikir, yang jauh dari kemapanan keadaan. Pikiran muda yang begitu idealis untuk konsepsi sebuah ide yang brilian dan berani.

"Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda"

Pemuda adalah golongan dengan gelora semangat perubahan yang besar yang mengandung ide-ide luar
biasa, sebuah kekayaan yang tiada tara.

Apa yang disampaikan Tan 90 tahun lalu nampaknya masih sangat begitu relevan dalam konteks masa sekarang. Pemikirannya sangat visioner, bukan sekadar pikiran taktis untuk konteks satu jaman.

"Selama orang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan putch atau anarchisme hanyalah impian seorang yang lagi demam"

Bahwa sebenarnya banyak jalan untuk mencapai suatu kemerdekaan. Bila sebuah perjuangan turun ke jalan yang identik dengan bentuk vandalisme sudah dianggap begitu usang, maka itu bukanlah suatu kebuntuan. Kita hanya perlu untuk tetap berpegang pada tujuan, dengan mengambil alternatif jalan.

Menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk bisa merealisasikan ide yang kita buahkan memang suatu kebanggaan tersendiri. Namun begitu, untuk orang sekaliber Tan nampaknya perlu diberikan pengecualian. Perlu ada sebuah penghormatan yang nyata. Tanpa Tan, mungkin tidak pernah akan ada ide untuk negara seperti Indonesia atau keinginan untuk mencapai kemerdekaan.

Rabu, 03 Oktober 2012

Mengenang 40 hari Papa Hendromartono

"Ketika penyesalan menemui jawab, itu adalah momentum untuk kembali melangkah"

Penyesalan terdalam seorang anak adalah ketika orang tuanya berpulang, namun dia belum melakukan apa-apa untuk mereka. Kira-kira itulah yang saya alami ketika saya mendapat kabar bawah ayah saya telah berpulang. Saya terlarut dalam raungan duka dengan segenap perasaan sesal yang sebegitu saja terluap. Saya akhirnya menyadari betapa berharganya satu detik yang saya lalui.

Ketika ayah saya masih hidup, ada satu pertanyaan wajib yang selalu ia tanyakan. "Koe ki karo febry jujurane piye?" Ia menanyakan tentang rencana pernikahan saya. Jauh dari rencana hidup saya, rencana itu belum sempat terpikirkan. Tiga kali saya pulang ke rumah, saya selalu disodori pertanyaan itu. Dan saya selalu menjawab, belum kepikiran pah, harus lulus dulu dan kerja dulu baru nikah. Ayah saya hanya membalasnya dengan tawa kecilnya. Dia tidak menanyakan kapan saya lulus. Dia tidak menanyakan tentang mau apa saya ketika saya lulus. Dia hanya bertanya kapan saya menikah.

Pertanyaan itu yang menjadi beban itu lantas berubah menjadi sebuah tanggung jawab dan prioritas dalam hidup saya. Saya sadar bahwa saya tidak punya banyak waktu untuk menunaikan itu selagi ayah saya masih ada. Saya menatar dan menempa hidup dan mental saya lebih keras lagi. Saya ingin bisa mapan ketika saya lulus nanti. Namun, ternyata saya tidak punya cukup waktu untuk itu.

Satu minggu dari kabar duka itu datang, saya selalu terlarut dalam penyesalan dan refleksi tentang kebodohan masa lalu yang pernah saya lakukan. Saya meresapi betapa bodohnya menyia-nyiakan waktu satu tahun yang saya buang di SMA. Andai saya bisa melewati SMA tepat waktu, mungkin saya masih punya kesempatan untuk menunaikan tanggung jawab itu.

Hari terakhir sebelum kembali ke Tangerang, kami sekeluarga datang ke makam untuk berpamitan dan menghantarkan doa agar perjalanan ayah saya lancar. Kami datang sekeluarga ditemani beberapa teman dekat keluarga kami. Ketika turun dari mobil, kami langsung menuju makan untuk membersihkan beberapa daun kering yang ada di atas kuburan yang masih berrupa gundukan tanah itu. Ibu dan kakak perempuan saya masih asyik dengan kegiatan mereka untuk mengganti lampu sentir sebagai penerangan. Waktu itu sore hari sekitar pukul 5 sore.

Mami Rida yang ikut dalam rombongan langsung mengambil posisi berlutut di kepala kubur. Dia sedikit mengusap nisan salib yang tertanam. Tiba-tiba dia bersuara "Mah, sudah mah, nanti dulu, kita doa dulu mah".   Saya langsung menengok ke Mami Rida, saya sadar bahwa itu adalah ayah saya. Intonasinya, cara ia melafal, itu adalah benar-benar papa saya. Sontak, kami langsung mengambil posisi berlutut untuk berdoa. 15 menit lebih ia berdoa tanpa terbata. "Terima kasih Tuhan kau telah memberi keluarga seperti ini. Terima kasih kepada istriku tercinta, anak-anakku tersayang. Aku ikhlas dengan apa yang telah kalian lakukan dan berikan." Air mataku tak lagi bisa kubendung. Beban tanggung jawab dan penyesalan yang kurasa seketika itu juga seperti diangkat. "Papa telah ikhlas dengan semuanya, Aku pun harus ikhlas dan merelakannya tanpa ada penyesalan dan kesedihan".

Selepas dari situ, saya kembali berpikir mengenai situasi ideal yang ingin kuberikan ke orang tua sebagai anak. Ternyata seorang orang tua pun memiliki situasi idealnya sendiri terhadap anak-anaknya. Mulai dari situ aku berjanji bahwa air mata yang kutumpahkan di makamnya adalah air mata terakhir yang aku teteskan untuk dirinya. Aku ingin mengenangnya dalam kebahagiaan untuk menemaninya di keabadian.

Dukaku sebagai seorang anak sudah berakhir, Sesalku sebagai seorang anak sudah tuntas. Hanya kebanggaan yang kini hidup dalam benakku. Bangga karena boleh dilahirkan di tengah-tengah keluarga Hendromartono yang begitu luar biasa. Bisa dididik di dalam keluarga Hendromartono dalam ketabahan, keikhlasan, ketegaran, dan kesederhanaan. Keluarga yang berani berdiri tegap menghadang dan melawan badai. Hidup dengan darah Hendromartono yang hidup tanpa dendam. Hidup dengan daging Hendromartono yang Ikhlas memberikan tangannya untuk orang lain. Ayah yang begitu luar biasa. Satu-satunya patron yang akan selalu hidup dalam hati, pikiran dan jiwaku.

Senin, 01 Oktober 2012

Sepi Itu Indah

"Kadang manusia itu harus terjebak dalam sepi untuk bisa meresapi betapa nikmatnya kebersamaan,,,"


Kira-kira itu adalah kalimat penyejuk untuk menemani saat-saat sendiri. Sifat dasar yang selalu bertanya dan selalu ingin mencari jawab atas kegelisahan, atau mungkin sebagai pelarian dalam kejenuhan. Mungkin kita terlalu nyaman berada di tengah keramaian dan bisa begitu akrab dengan orang-orang di sekitar kita. Namun kala sendiri, kita menjadi rikuh pada diri sendiri.

Alih-alih mencari pembenaran dari sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial, kita terlalu dibenamkan dalam nyamannya kebersamaan. Seketika itu juga kita menjadi terlena dalam hasrat suka cita. Hasrat diri untuk ingin dimengerti, hasrat diri dalam popularitas dan eksistensi. Namun kala sendiri, kita menjadi seperti terasing, bahkan dengan diri sendiri menjadi saat-saat yang garing.

Kala sendiri, kita bukanlah apa-apa. Ironis. Kita bisa sebegitu akrab dengan pribadi lain tanpa bisa dekat dan mengerti diri sendiri. Maka pada saat itu juga, kita tidak akan pernah bisa menjadi diri kita sendiri di depan orang lain. Kita memilih menjadi apa yang ingin orang lihat dari kita.

Namun kita menjadi begitu tersentak ketika kita mempunyai banyak waktu bermesra dengan diri kita sendiri. Banyak hal dalam diri yang baru kita ketahui melalui lamunan dan refleksi masa silam. Waktu untuk sendiri memang kadang begitu sangat dibutuhkan saat kita mulai asing dengan diri kita sendiri. Ketika kita menarik jauh diri kita dari keramaian dan mengambil tempat di dalam sepi, kita baru melihat keindahan dari sebuah kebersamaan. Kita bisa sebegitu akrab bermesra dengan diri kita sambil memandang suka cita kebersamaan dari kejauhan.

Dalam hal ini, tidak ada yang salah dengan Sepi. Karena bila tidak ada sepi, maka kebersamaan akan terasa begitu hambar. Menikmati kesepian akan membuat kita bisa meresapi dan mengecap betapa nikmatnya kebersamaan. Menikmati setiap irama yang hadir dalam hidup membuat kita menjadi lebih bisa bersyukur pada hidup kita.

Sekilas Tentangku - PART II

Sampai pada akhirnya saya masuk di De Britto. Suasana baru, Yogyakarta. Membawa berjuta harapan dan asa untuk mendapatkan pembelajaran yang lebih baik. Pendidikan bebas yang ditawarkan mungkin membuat saya agak kaget. Kami bebas untu memilih dan menentukan pilihan yang akan kami ambil, yang dibarengi kesadaran akan batasan dan konsekuensi yang kami terima. Namun sayang, saya belum sempat mencerna itu lebih baik.

Kebebasan yang saya dapat merupakan ujian berat yang menghanyutkan. Situasi itu memberikan saya peluang untuk melakukan banyak hal yang saya inginkan. Menumbuhkan minat di kelompok pecinta alam. Menggandrungi olahraga panjat tebing, dan kegiatan yang lain. Terjun dalam organisasi Presidium. Banyak hal baru dan menantang yang saya ambil. Sampai pada suatu ketika ketika kenaikan kelas, saya tidak berhasil masuk ke jurusan yang saya inginkan. Kurang dua poin karena tidak mengikuti ulangan harian, membuat saya harus rela menerima masuk ke jurusan BAHASA.

"Jurusan apa ini?". Mungkin kalau tidak salah ingat, itulah frasa yang terpikir dalam otak kala itu. Baiklah, ini konsekuensi yang harus saya terima atas pilihan yang saya ambil sebelumnya. Tidak mudah memang. Hati saya mulai ikhlas ketika saya bisa mengenal dekat teman sekelas yang kala itu hanya berjumlah 10 orang. Jo, Maundri, C max, Toga, Rudy, Sudwi, Theo, Felix, dan Brandt. 10 penghuni kelas XI Bahasa.

Mungkin karena jumlah yang sedikit ini membuat kami lebih bisa dekat dan akrab satu sama lain. Kami berproses dan bermain bersama. 10 manusia yang memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. 10 manusia yang memiliki Dragon Ball. 5 orang dengan prestasi terendah. Saya, Toga, Brandt, Maundri, dan Sudwi. Tidak jelas kapan ada istilah ini. Namun dragon ball inilah yang membuat suasana kelas menjadi ramai, karena isinya ngelawak dan tertawa.

Kami berproses dan melewati banyak hal. Sedikit demi sedikit rasa sesal itu hilang. Bahasa adalah keluarga baru saya. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya ada di sini. Dengan dukungan dan semangat bersama, maka bahasa menjadi kelas yang solid dan menyenangkan.

Di kelas ini, saya belajar mengenai kebersamaan dan persaudaraan. Kami mencoba untuk berkembang bersama agar memperjuangkan dan membuktikan bahwa kelas bahasa bukan kelas buangan. Kami bisa memberikan yang terbaik di sini.

....

Pengikut