Minggu, 30 September 2012

Sekilas Tentangku - PART I

Mungkin coretan kali ini lebih pas dibilang sebagai refleksi atau bahasa anak jaman sekarang bilang curcol. Bagi yang mengalami adanya kesamaan peran, tokoh, cerita, bahkan detail nama, ini bukan sebuah kebetulan, namun memang benar-benar ada dan tersaji dalam lembaran kisah perjalanan hidup yang saya alami.

Mungkin agak sedikik membosankan kalo misalnya cerita dari pertama nangis pas lahir, jadi skip aja deh ceritanya sampe kelas tiga SMP. Seperti tradisi yang sudah ada dalam keluarga saya, setiap anak yang menjadi anak dari Alm. Papa dan Mama, tanpa terkecuali, harus belajar mandiri dengan hidup merantau. Kedua saudara saya telah mengalami fase itu, dan kala itu, tibalah giliran saya. 

"Mau ngapain kamu habis lulus nanti". Mungkin ini ada dalam skrip orang tua saya untuk membuka pembicaraan tentang rencana hidup saya kedepan. "Aku mau sekolah di Jogja, di De Britto". Aku sudah cukup mengetahui dan mencari SMA apa yang cocok dengan untuk mengembangkan karakter saya. Saya cukup kagum dengan SMA ini, SMA yang lahir dan tumbuh di tangan Yesuit. Cukup terkenal dalam konteks nasional, terutama untuk mereka yang tidak mainsetream, dan menyukai pendidikan alternatif. Pendidikan yang bukan sekadar menggembleng sisi kognitif seorang manusia. 

Kala itu, pilihan saya jatuh pada SMA Kolese De Britto karena saya ingin merasakan pendidikan bebas. Sebab ya, memang di De Britto, siswanya boleh tidak memakai seragam. Boleh memakai sepatu sandal, dan boleh memelihara rambut sampai panjang semampai. "Asik nih kayaknya". Pikiran itu yang kira-kira hinggap dalam benak saya. Bosan dengan pendidikan yang kaku dengan aturan baku yang kadang tak berdasar, maka, De Britto lah pilihannya.

Orang tua saya tergolong sangat demokratis untuk memberikan pilihan kepada kami menentukan masa depan kami masing-masing. Mungkin mereka malas memikirkan anak-anaknya, namun sebenarnya saya tahu, bahwa bukan itu alasannya. Mereka hidup dan berkembang juga karena merantau. Mungkin pengalaman dua insan yang sama, yang mengalami banyak hal positif, maka mereka terapkan kepada anak-anak mereka ketika mereka menjadi orang tua.

Tidak seperti dua kakak saya yang digembleng habis-habisan oleh Alm. Papa, saya mendapatkan perlakuan berbeda yang bisa dibilang "Istimewa". Kedua kakak saya harus membawa berpuluh-puluh kilo Vanili mentah untuk dijual ke magelang, yang uang hasil penjualannya akan mereka pakai sebagai biaya masuk di sekolah yang mereka pilih. Saya, cukup duduk manis di dalam kabin pesawat, menunggu 1 jam 30 menit di udara, dan tiba-tiba sampai di bandara Adisucipto Yogyakarta.

Hal ini memang improvisasi oleh orang tua saya. Papa saya sudah terlalu tua untuk bisa menerapkan hal yang sama sebelumnya kepada saya. Papa malah tidak ikut mengantar, dia tetap di rumah dan saya diantar oleh Mama saya. Sangat istimewa. Kedua kakak saya bilang saya adalah anak yang paling dimanja oleh orang tua kami. Mungkin memang begitu adanya, mengingat saya seorang bungsu yang kala kecil sakit-sakitan. Mungkin mereka terlalu terbiasa memberikan perlakuan lebih dan istimewa kepada saya. Saya lebih percaya mereka mengambil pilihan demikian karena memang keadaan menuntut demikian. keadaan yang tidak pernah bisa kami pahami sebagai seorang anak. Keadaan yang mungkin baru bisa kami pahami ketika kami sendiri mengalaminya dengan anak-anak kami kelak. 

....

Ikhlas

Kadang kita sering menghela nafas, terperangah dan diam, atau bahkan menangis terisak atau meraung, ketika kita mendapati situasi di luar spekulasi hidup kita. Respon diri untuk melawan ketika berhadapan dengan situasi ini sangat-sangat manusiawi. Kita akan lebih memilih untuk suka pada hal yang kita suka, dan memilih benci untuk hal yang kita benci. Namun begitu sangat jarang kita bisa suka pada hal yang kita benci.

Empat tahun silam saya pernah mengalami hal seperti ini. Mengalami rasa kecewa yang teramat sangat. Bukan kepada diri sendiri, namun pada orang yang sangat saya sayang dan cintai. Dia adalah salah satu orang yang membimbing saya dari kecil hingga saya besar. Dia adalah kakak yang teramat sangat dekat dengan emosional dan sisi sentimentil saya.

Tidak ada cela yang perlah dilakukannya semasa saya mengenalnya, sebelum hari itu tiba. Saya sangat marah dan kesal untuk mendengar dan dipaksa menerima kenyataan yang tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiran dan perasaan saya. Kala itu menjadi saat yang sangat penting. Rasa marah, kecewa, sedih, bercampur dalam satu wadah.

Empat tahun berlalu. Sekarang, kami semua bisa tertawa ketika harus kembali mengenang masa itu. Hari yang pernah kami lalui dengan tetesan air mata dan luapan emosi, bisa menyublim menjadi serangkaian guyon sore hari menemani obrolan dalam menikmati secangkir kopi. Kami mengenang itu dengan senyum dibibir, gelak tawa.

Seperjalanan pulang dari kediamannya saya berusaha mencerna dan melihat kembali tentang proses apa yang telah kami alami. Proses yang membawa kami menuju satu titik cerah untuk bisa melangkah dari keterpurukan. Melanjutkan dalam khayalan sambil nongkrong di kamar mandi. Kemudian duduk di beranda depan dengan secangkir kopi. Kilasan itu hanya membawa saya pada satu kata, Ikhlas. Kami telah berhasil mengikhlaskan hal buruk yang kami terima. Kami berhasil mengubur kenangan suram sampai iya bisa tumbuh menjadi pohon kendal yang rindang, hingga kami bisa berada pada situasi yang nyaman.

Ikhlas, adalah satu-satunya jawaban bagi saya untuk bisa menikmati ketidakenakan yang dialami. Ikhlas, adalah satu-satunya jawaban untuk alasan bisa melangkah. Ikhlas adalah satu-satunya alasan agar saya bisa menikmati tiap-tiap getir yang datang menghampiri. Proses panjang membawa pada satu fase yang menghadirkan pengalaman sebagai guru yang sangat berharga.

Jumat, 28 September 2012

Diskriminasi Agama

"Bersediakah saudara berdua menjadi Bapak Ibu yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada saudara dan mendidik mereka menjadi orang Katolik sejati?"


Bagi orang khatolik atau kristen, mungkin kalian tahu kalimat apa yang ada di atas. Ya, benar. Itu adalah salah satu kalimat yang ada dalam janji pernikahan dalam Khatolik. Mempelai disosori pertanyaan demikian dan diharuskan untuk menjawab "Ya, kami bersedia". Maka tafsiran yang muncul dalam hal ini bahwa agama dalam konteks Khatolik merupakan warisan. Warisan yang bukan diberikan ketika orang tua berpulang, namun warisan yang diberikan ketika sang anak mulai dikandung dan dilahirkan.

Hal itu juga saya alami sebagai individu bebas yang hidup di tengah keluarga Khatolik. Sedari bayi saya telah dibaptis dengan nama Yohanes. Siapa Yohanes? Yohanes yang mana? Apa saya memang membutuhkan pelindung dengan nama itu? Hal itu baru saya sadari ketika saya mulai beranjak dewasa. kesadaran bahwa apa yang saya alami merupakan penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh organisasi keagamaan, Khatolik. Siapa yang salah? Bukan itu yang saya pertanyakan. Saya lebih mempertanyakan dimana kebebasan dan kemerdekaan anak-anak Khatolik sebagai manusia? Apakah ketika Ayah dan Ibu saya menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang berbeda, lantas pernikahan mereka akan tergagalkan?

Mungkin orang tua saya menganggap hal itu sebagai beban sekaligus tanggung jawab mereka terhadap sumpah suci yang menyatukan mereka di hadapan Tuhan. Mengapa Tuhan hanya bisa diam dan tidak membela kami bayi-bayi yang tertindas?

Manusia hanya membutuhkan tempat tenang dalam hati mereka masing-masing untuk berintim dengan Tuhan mereka. Perayaan ekaristi di mata saya tidak lebih dari sekadar rutinitas ritual yang telah lama kehilangan arti di mata umat-umat yang mengikutinya. Lalu dimana letak kesakralan dari warisan 2000 tahun silam itu? Warisan yang dalam sejarah perkembangannya mengalami banyak tragedi berdarah dan politisasi. Tidak perlulah itu dibeberkan di sini.

Saya hanya memberikan pandangan bahwa ada banyak bentuk penindasan dari lembaga dan organisasi keagamaan itu. Manusia hanya memerlukan komunikasi vertikal dengan Tuhannya, serta melakukan komunikasi horizontal kepada sesamanya. Dan dua hal ini merupakan dua bentuk komunikasi yang sangat berbeda. Namun dua hal itu terlalu disamarkan dengan sejarah panjang lembaga keagamaan. Semoga kita dapat memilih dan memilah dengan sadar apa yang kita imani dan kita lakukan sebagai manusia yang mengaku beragama dan berTuhan. Hidup sebagai manusia yang manusiawi dengan kemampuan komunikasi vertikal yang magis kepada penciptanya.

Kamis, 27 September 2012

Pejuang Dalam Pelarian

Masih ingatkah kalian dengan peristiwa 65? Sebuah konspirasi politik terbesar yang pernah dialami negeri ini. Besar karena banyak kepentingan yang bermain di sana, baik oleh elit lokal, maupun kepentingan Internasional. Setelah berakhirnya PD II, dua negara besar saling terlibat perang dingin. Perlombaan untuk menjadi negara paling berpengaruh di dunia, baik secara ideologi, maupun peta kekuatan militernya.

Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno lebih condong ke Soviet, hal itu ditandai dengan hubungan bilateral yang harmonis. Soviet kala itu juga bukan karena tidak ada tendensi dekat dengan Indonesia. Ketika Indonesia masuk ke dalam arus komunis, maka garis tegak dari atas ke bawah belahan bumi itu akan dikuasai komunis, begitu pula dengan Australia dan negara boneka Malaysia.

Namun seperti biasanya, bahwa konspirasi merupakan agenda besar yang semata-mata hanya berorientasi pada tujuan akhir. menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Indonesia masuk ke dalam bagian yang harus dikorbankan. Caranya dengan menciptakan gejolak dengan skala nasional dengan dua agenda besar, Menumpas simpatisan dan partai komunis, serta menggulingkan kepemimpinan Soekarno. Jutaan nyawa melayang kala itu, nyawa mereka yang masuk sebagai anggota dan simpatisan PKI maupun nyawa orang-orang yang sengaja dikorbankan dan menjadi tumbal.

Dari jutaan orang yang terganjal peristiwa itu, ada satu orang yang berhasil selamat dengan menjalani 15 tahun hukuman yang dibagi menjadi dua, hukuman penjara dan tahanan kota. Orang ini sama sekali tidak terkait dengan gerakan partai-partai atau ormas-ormas. Orang ini murni hidup sebagai prajurit, sebagai militer.

Selama menjalani hukuman di nusa kambangan, dia melihat dan mengalami sendiri kejamnya penyiksaan yang tidak pernah terbayangkan di era manusia moderen abad 20. Biji jagung yang dikombilasikan dengan kerikil atau pasir, hampir menjadi menu wajib makan sehari-hari di dalam sel. Tidak sedikit yang mati akibat gangguan pencernaan. Namun dia berhasil bertahan sampai bebas dari hukuman penjara dengan cap OT di kanan atas kartu identitas kewarganegaraannya.

Dia berpikir bahwa dia tidak mungkin bertahan hidup dengan kondisi sosial masyarakat di Jawa yang sangat erat dengan peta konflik politik yang barusan terjadi. Oleh sebab itu dia pergi menyeberang lautan dan hidup di Kalimantan dan memulai bisnis elektronik. 30 tahun lebih dia menjalani hidup sebagai pelarian, sebagai orang yang dibuang oelh negaranya sendiri, negara yang dia bela, negara yang dicintainya. Tidak ada luka yang lebih dalam daripada luka orang yang dikhianati oleh sesuatu yang dicintainya.

Sampai akhir hidupnya dia hidup sebagai pelarian. Meski pada masa pemerintahan Gus Dur ada pemulihan nama baik kepada orang-orang yang tersandung kasus 65, namun itu tidak terlalu berpengaruh banyak. Titel PKI yang dicap orang kepada dirinya tidak membawa perubahan banyak dalam kehidupan sosialnya.Namun paling tidak, dia telah berhasil hidup sebagai pejuang. Pejuang yang berjuang untuk Istri. Pejuang yang berjuang untuk anak-anaknya. Pejuang yang berhasil menanamkan benih-benih perjuangan dalam tiap diri ketiga anaknya.

Masa perjuangannya telah berakhir sejalan dengan tutupnya usia. Perjuangan yang dia jalani semasa hidupnya kini telah dilanjutkan oleh ketiga anaknya. Tentu saja bentuk perjuangannya telah berbeda. Namun paling tidak nilai yang menghidupi perjuangan itu tetap sama. Dia orang yang sangat luar biasa. Inspirasi bagi hidupku. Ayah yang menjadi patron hidupku. Orang tua yang menjadi teladanku.

Rabu, 26 September 2012

Satu Malam Di Progo

Seperti biasanya, perjalanan Jogja - Jakarta adalah sebuah pembelajaran dan pengingat. Kereta ini punya nilai tersendiri buat saya. Ia merupakan sarana pengingat dan pembelajaran untuk saya. Kelasnya memang hanya Ekonomi, cukup dengan 35 rb, saya bisa sampai ke Ibukota kala itu. Sesuai dengan kelasnya yang ekonomis.

Sedikit kisah mengenai kereta ini yang mungkin tidak banyak orang tau. KA Progo pertama beroperasi pada akhir 70an. Selanjutnya pada awal 80an ada penataan ulang, salah satunya adalah kereta Senja Ekonomi Yogya dengan relasi Gambir - Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu, relasi diubah menjadi Pasar Senen -Lempuyangan, yang selanjutnya terjadi perubahan nama menjadi Empu Jaya yang merupakan akronim dari Lempuyangan - Jakarta Raya. Namun sayangnya dalam operasinya, kereta ini sering mengalami kecelakaan. Kemudian sekitar 2002 namanya kembali diubah menjadi KA Progo. Progo sendiri merupakan nama dari sebuah sungai yang ada di Yogyakarta.

Seperti kisah hidup kereta Progo yang panjang, sayapun memiliki sejarah panjang dengan kereta ini. "Kenapa sukanya nyiksa diri naik ekonomi dempet-dempetan. Nyiksa badan aja". Itu adalah kalimat yang sempat keluar dari mulut ibu saya. nampaknya dia begitu prihatin melihat anak bontotnya berdesak-desakan di Progo. Alasannya sederhana, saya mencari kenyamanan perjalanan.

Bicara tentang kenyamanan, tentu saja tolak ukurnya berbeda-beda. Bagi banyak orang, kenyamanan perjalanan adalah kursi empuk yang bisa diatur kemiringannya, kesejukan udara dari mesin pendingin, serta mungkin selimut dan bantal birunya. Hal ini tidak salah sama sekali. Namun yang jelas untuk saya, kenyamanan adalah ketika saya bisa bertemu dengan banyak orang dengan segala permasalahannya dan kami dapat ngobrol panjang lebar tentang segala topik sampai yang mengiringi perjalanan sampai ke kota tujuan. Tidak jarang saya berdiri beberapa jam karena penuhnya penumpang yang ingin berangkat. Sesaat dilain perjalanan ketika saya datang lebih awal saya mendapat tempat duduk. Namun tidak jarang pula tempat duduk saya yang nyaman harus saya ikhlaskan kepada seorang nenek atau ibu hamil, atau seorang ibu dengan bayinya. "Silakan bu, duduk di tempat saya". "Matur suwun mas". Tiga kata yang buat saya mampu menahan mulut saya untuk selalu tersenyum selama perjalanan. Kadang, hal itu merupakan salam kenal dan sapa untuk memulai perbincangan.

Ketika PT KAI belum merevitalisasi armadanya, banyak pedagang yang naik - turun dan lalu - lalang selama perjalanan. Mulai dari menjajakan makanan, buku, sampai barang-barang Cina yang multifungsi dan tentu saja murah meriah. Ketika kereta mulai masuk Cikampek, ada beberapa pengammen yang masuk dan memamerkan kebolehannya dalam bermusik. Ada pula anak jalanan bermodal sapu dan pewangi ruangan yang membersihkan gerbong dan menyemprotkan aroma wangi dari botol spray yang dibawanya. Semua dibayar dengan seikhlasnya.

Semua hal itu adalah kejadian yang tidak akan pernah ditemui di kereta lain yang kelasnya lebih tinggi. Dari hal-hal kecil ini saya mengamati dan mencoba merefleksikan diri. Merefleksikan keadaan diri yang saya alami dengan realita kondisi ratusan orang yang sekadar menumpang atau menjadikan kereta ini sebagai penyambung hidup mereka. Seburuk-buruknya situasi hidup yang saya alami, saya merasa masih lebih beruntung dari sebagian besar orang yang ada di sana. Beruntung karena situasi hidup saya tidak sekeras mereka. Beruntung karena saya bisa menjual kemampuan dari sekadar menjual tenaga. Beruntung karena masih bisa memberi untuk mereka yang meminta.

12 jam perjalanan untuk bekal kecil panjangnya kehidupan yang saya jalani. Kereta Progo memberikan pelajaran kecil agar saya selalu ingat dan tidak lupa diri dengan keberhasilan dan kesuksesan yang bisa saya raih. Untuk sekarang saya telah menetap di Tangerang. Selama saya masih lajang dan melakukan perjalanan sendiri, Kereta Progo akan tetap menjadi prioritas mode transportasi untuk mengantarkan saya kembali ke Kota Jogja. Berjumpa dengan guru-guru luarbiasa yang mau membagi sepenggal cerita yang sangat menginspirasi untuk saya.

Lika-Liku Cinta

Salah satu hal yang terindah yang dialami manusia adalah jatuh cinta. Dan salah satu hal yang paling menyedihkan dalam hidup manusia adalah putus cinta. Kenapa cinta begitu bisa membuat fluktuasi suasana hati kita? Kenapa yang namanya cinta itu begitu mempengaruhi pengambilan sikap dan keputusan cinta? Kita tidak akan pernah tahu bagaimana cara menanggapi kedatangan cinta bila kita belum mengenal cinta itu sendiri.

Cinta, memiliki rasa dan interpretasi berbeda pada setiap manusia. Tentu saja berbeda, karena pengalaman manusia tentang cinta juga berbeda. Namun di dalam perbedaan itu, cinta akan dirasa sama ketika pertama datang, menyenangkan, menyejukkan dan membahagiakan. Sampai sini masih setujukan? hehehehe...

Cinta begitu terasa membahagiakan karena pengaruh dari perpaduan reaksi kimia dan hormon-hormon dalam tiap sel tubuh menghasilkan reaksi dan perasaan yang disebut cinta. Kalo kata Dr. Domeena Renshaw dari Universitas Loyola, ada yang namanya peningkatan alirah darah menuju kepala dan berfokus di otak. Hal ini tidak jauh berbeda dengan orang yang sedang kecanduan. Tapi semua itu adalah hasil penelitian, saya lebih percaya kalau cinta itu adalah anugerah sekaligus kutukan. Punya pengaruh yang berbeda sesuai dengan karakter orang yang mengalaminya.

Mari kita masuk ke inti pembicaraan. Perasaan cinta yang begitu mendalam mampu membuat orang mabuk kepayang, melayang-layang sampai lupa daratan. Perasaan ini adalah murni dari respon perasaan yang tidak lain didalangi oleh hati. Dan hal ini kita sebut dengan penyikapan cinta. catat baik-baik. Hati mengambil peran yang besar dalam pengambilan keputusan. Ini sangat menyenangkan sekali, karena membuat kita seperti terhipnotis. Namun celakanya, hal ini menjadi permasalahan besar ketika si pecandu cinta mengalami putus cinta. Nah lo,,,

Dalam situasi seperti ini, seseorang akan galau stadium empat, mengalami sedikit sesak napas, sampai pada peningkatan kadar emosi diri untuk berteriak bahkan memukul orang. Ini adalah fase yang pertama. Respon singkat dari hati untuk menanggapi situasi seperti ini. Fase kedua adalah orang mengalami halusinasi dan bayang-bayang yang punya imbuhan "seandainya". Seandainya apa yang kulakukan kayak gini, seandainya aku gak ngelakuin itu, seandainya aku bisa... dan banyak pengandaian yang lain. Dalam situasi ini, seorang pecandu berat cinta akan mengalami depresi dengan tanda-tanda bengong, skip, sampai pada penyakit lupa. Lupa makan, lupa mandi, dan lupa sebagainya. Alhasil, semua terabaikan dan orang ini lebih memilih untuk menikmati penderitaannya (penderitaan kok dinikmati). Fase ketiga yang punya masa sangat lama adalah keadaan Stuck dan tidak bisa Move on. Hayo lo,, sering kan begini... Orang ini akan mengambil asumsi bahwa mantannya itu adalah orang nomor satu yang punya paling segalanya. Dalam fase ini, seseorang biasanya cenderung membubuhi bumbu penyedap galau, semisal lagu-lagu galau, film-film drama galau, serta bumbu penyedap lainnya, sambil terus meratapi kekasih hatinya yang sudah pergi dan menghilang. Dalam fase ini pula, seseorang bila ditanya kenapa dia tidak Move on, maka ia akan menjawab: "Dia itu sangat spesial, susah buat gak mikirin apalagi ngelupain. Kayaknya gua akan terus nunggu dia. Siapa tahu gua bisa balik lagi sama dia". Kalau seseorang sudah mulai berkata demikian atau minimal nyerempet-nyerempet intinya, maka fix orang ini Stuck dan akan menikmati paket combonya, galau tak berujung yang pada akhirnya membuat menderita tiada akhir.

Kalau kita uraikan satu-satu dan mulai memasukan unsur logika, bukan hanya hati, maka sebenarnya seseorang itu akan sia-sia menunggu. Dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Tau kenapa?? Karena orang yang lu tunggu bukan berada di belakang lu, dia udah ada jauh di depan lu. Maka kalo lu nunggu, lu akan jadi semakin jauh dari itu orang. Harusnya lu gak nunggu, lu coba pake otak dan badan lu. Tanya dulu hati lu maunya apa, mau lanjut sama orang itu apa pindah ke lain hati. Lalu selanjutnya lu pake otak lu buat bilang ke badan lu supaya lu lari biar bisa ngejar orang yang ditunjuk sama hati lu. Bodo amat mau diterima apa ditolak mentah-mentah, tapi seenggaknya lu udah bisa Move on. Ketika lu udah ada di fase ini, maka ini adalah sebuah titik cerah.

Suasana hati begitu mempengaruhi pengambilan keputusan kita. Bila ada istilah cinta itu buta, agaknya saya kurang setuju, karena akan lebih tepat kalo dibilang cinta itu tolol. Kita gak perlu pake otak buat merasakan cinta. So, apa kalian sudah bergerak dari perhentian dan penantian panjang kalian? Trauma kak,,, hahahaha... Alesan klasik yang jadi bagian dari sekutu penguasa hati yang mutlak.

Teman saya pernah bilang kalau galau itu sebuah kepastian. Mau orang itu senang atau sedih, galau itu pasti datang. Tapi yang perlu diingat adalah Menderita itu pilihan. hehehe.. semoga bermanfaat ya...

Saya Nasrani

Agamamu apa?

Pertanyaan yang kadang membuat saya kesal karena punya tendensi untuk mengharamkan kepercayaan yang saya anut. Nama saya Yohanes Preva Dimas Wihendarto. Ketika orang melihat nama itu, mereka bisa seketika itu tahu bahwa saya seorang Jawa yang menganut kepercayaan nasrani. Karena Yohanes merupakan nama rasul dalam sejarah gereja Khatolik, serta Wihendarto dengan huruf "O" di akhir nama yang mewakili etnis Jawa. Sejujurnya saya kurang nyaman dengan hal itu. Oleh sebab itu saya selalu memperkenalkan diri sebagai Preva Dimas, tanpa Nasrani, tanpa Jawa. buat sebagian orang, mungkin saya pengecut, namun saya tidak perlu memberikan pembuktian kepada mereka bahwa anggapan itu salah.

Dalam konteks budaya di Indonesia, masyarakatnya yang telah terlalu lama terkotak-kotak dengan Agama dan Ras membuat saya kurang leluasa dalam mengambil peran di ranah publik. Sesekali ada saja orang yang berani menanyakan Agama saya apa. Bukan untuk suatu kepentingan, namun hanya untuk sekadar memberi posisi saya di mata mereka. hahaha... Picik.

Mungkin banyak saja orang yang mengalami kejengahan seperti yang saya alami ini. sebagian besar dari mereka mengambil langkah untuk menanggalkan Agama dan kepercayaan akan Tuhan. Anggapan bahwa agama hanya menjadi pemecah dalam kehidupan sosial. Bagi saya, realita ini tidak bisa dimaknai sama untuk setiap sisi. Ada sebuah kekosongan dalam diri manusia yang tidak pernah ada jawabnya. kekosongan ini seringkali diisi dengan memasukkan konsepsi akan dzat yang menciptakan alam semesta, dzat yang memberi kehidupan. dzat yang memelihara kehidupan. dzat yang akhirnya dipahami sebagai Tuhan.

Secara kepercayaan, saya mengimani Kritus. Bukan karena dia anak Allah seperti cerita dan kisah dalam Alkitab. Namun karena sosok yang ada pada dirinya begitu menginspirasi dan seringkali menjadi pemecah kebuntuan pada situasi sulit yang saya alami. Situasi yang muncul karena arogansi dan ego kita sebagai manusia. Mungkin bila Gabriel mendatangi Maria dan berkata bahwa Maria harus memberi anaknya nama "Ucok", maka Ucoklah yang akan saya Imani.

Kekaguman saya bukan pada kebangkitanNya, namun lebih pada sikap dan sifat hidup Kristus sendiri. Maka dalam hal ini saya akan tetap mengimani Kritus terlepas Ia akan bangkit dari kubur dan naik ke surga. Meski Ia membusuk di kuburnya, saya akan tetap mengimaniNya.

Mungkin ini lebih terasa seperti promosi kepercayaan. Namun yang ingin saya sampaikan adalah saya sedang berbicara mengenai kepercayaan yang saya anut, bukan membicarakan Agama yang tertulis di KTP saya. Karena ketika kita membuka diri untuk mendengar apa yang dipercayai orang lain, hal itu akan lebih nyaman untuk diperbincangkan. Ketimbang kita gontok-gontokan berbicara mengenai Agama yang sangat erat kaitannya dengan budaya tempat agama itu lahir, serta politisasi agama itu sendiri.

Kepercayaan cukup hidup dalam diri masing-masing, sebuah hubungan sakral antara manusia dengan penciptanya. Ketika manusia hidup dalam sosial masyarakat, maka kepercayaan itu tersampaikan melalui sikap hidup dan perilaku keseharian. Pemaknaan terdalam pada sebuah kepercayaan adalah pada penerapannya, bukan sekadar wacana untuk dipergunjingkan.

Maka untuk menjawab pertanyaan pembuka di atas adalah "Saya Nasrani". Tidak pakai Khatolik, Protestan, Ortodoks, atau yang lainnya. Saya hanya mengimani pribadi manusia teladan dalam diri Kristus.

Aku Jawa, Kamu Cina, Lantas..??

Bagi saya, ada beberapa hal klasik yang tidak akan pernah habis diperbincangkan, Tuhan, Seks, Politik, dan Budaya. Empat topik ini selalu saja membawa wawasan baru yang diwakili oleh tiap individu yang tentunya juga berbeda. Namun dalam hal ini saya ingin berbicara mengenai topik Budaya. Dalam pembahasan ini, Budaya juga mewakili lingkungan serta latar belakang ras.

Masalah klasik yang sering diutarakan adalah stereotipe untuk setiap etnis. Pemberian lebel tertentu kepada etnis memang kadang bisa memberikan pencerahan untuk identifikasi, namun menjadi sebuah bumerang bila hal itu dimaknai kaku pada tiap individu. Hal ini mungkin sangat erat kaitannya dengan konsepsi Tuhan dan kepercayaan yang hidup dalam diri seseorang.

Buat saya, Latar belakang budaya ini merupakan sebuah kutukan atau orang berTuhan bilang adalah Takdir. maka dalam hal ini Takdir buat saya hanya meliputi dua hal saja, mengenai kelahiran dan mengenai kematian. Dua hal yang tidak bisa kita pilih dan pada akhirnya hanya menjadi sebuah kutukan yang pasti kita alami. Dan karena dua hal ini bukanlah sebuah pilihan, maka akan sangat tidak adil bila dalam keseharian kita mempermasalahkan hal ini. Contoh, kita sering terjebak dalam dilematis hubungan yang mewakili permasalahan perbedaan ras. Dalam keseharian saya banyak menemui tipikal orang yang buat saya begitu radikal mengutuk kutukan orang mengenai latar belakang ras. Begitu kental terasa ketika saya menjalin hubungan dengan wanita yang kebetulan memiliki perbedaan latar belakang ini.

Ketika saya telah sampai pada titik jengah dengan stereotipe yang ada di masyarakat, saya berkomitmen bahwa pendamping hidup saya kelak adalah wanita yang memiliki latar belakang ras yang berbeda dengan saya. Pembuktian untuk diri sendiri sebagai bentuk kepuasan diri bahwa saya bisa tetap bahagia ketia memilih untuk keluar dari kebenaran umum.

Berkaitan dengan hal ini, ras Tionghoa dan Pribumi memiliki jurang pemisah yang dibelah oleh stereotpie tadi. Anggapan orang pribumi, bahwa orang Tionghoa adalah ras yang serakah, pelit, dan suka mengintimidasi dengan kekuatan ekonomi. Anggapan orang tionghoa, bahwa orang pribumi adalah orang-orang yang tidak punya masa depan. orang-orang malas yang tidak mau berkembang dan suka menipu dengan mewakili kepribumian yang dimilikinya.

Buat saya situasi ini sangat gila, dari sudut pandang manapun tidak ada pembenaran yang bisa diterima dengan anggapan-anggapan semacam ini. Bahwa kita dilahirkan itu merupaka kutukan sekaligus anugerah yang tidak satu manusiapun bisa memilih sebagai apa dia dilahirkan. Sangatlah kejam diri kita bila di dalam otak kita masih terbesit anggapan seperti ini. Bila saya punya masalah dengan latar belakang Agama yang saya anut, yang kebetulan berbeda dengan pasangan saya, hal itu bisa diselesaikan dengan sebuah pengkhianatan untuk berpindah agama. Namun ketika permasalahan itu justru muncul pada perbedaan ras, maka tidak akan ada penyelesaiannya, karena tidak mungkin seorang Manado bisa menjadi seorang Ambon.

Dalam perjalanan pembuktian ini memang terasa sulit, namun saya percaya dengan prinsip yang saya pegang bahwa tidak ada yang salah dengan perbedaan ras ini. Saya percaya bahwa Mozaik itu indah, walau berbeda, namun bisa indah dipandang. hahahaha... Kadang saya tertawa dalam kebingungan semacam ini. Ada apa dengan pemahaman budaya yang ada di Indonesia. Kepentingan politik masa lalu yang mengkotak-kotakkan kita lantas berevolusi menjadi stereotipe yang kita amini.

Saya punya latar belakang Jawa, saya bangga dengan itu. Tidak masalah. Bagaimana kamu??

Diferensi Makna Budaya

Sesekali dalam keseharian saya berhadapan dengan sebuah perbedaan yang dilatar belakangi budaya. Perjalanan pendidikan saya yang membawa contoh dari tiga daerah yang memiliki karakter budaya yang berbeda membawa sebuah pandangan unik mengenai sapaan.

Kala itu dalam perbincangan ringan di selasar kantin kampus UMN, saya berbincang perihal diferensi budaya yang beragam di Jakarta dan sekitarnya. Pengalaman saya di empat tahun di Jogja menghasilkan sebuah sapaan yang merupakan penghargaan dan penghormatan bagi individu yang belum atau baru dikenal. sapaan itu adalah Mas dan Mbak. Sapaan ringan yang sering kita dengar bukan. Dua sapaan ini tentu untuk mewakili dua gender yang berbeda. dan karena sapaan itu begitu apresiatif buat saya, maka secara terbiasa saya menggunaan sapaan itu untuk orang yang belum saya kenal atau yang baru saya kenal. Tanpa memandang latar belakang ras apapun, terkecuali untuk orang batak yang sangat kental dalam pelafalan dan dialeknya, saya memberi penamaan khusus, Bang.

Diferensi makna yang terkandung dalam sapaan Mas dan Mbak ternyata telah memiliki stereotipe tersendiri untuk beberapa kalangan. Terkadang saya mendapat tanggapan ketus ketika menggunakan sapaan ini, terutama untuk kalangan (maaf) tionghoa. Tidak ada tendensi apapun yang saya ucapkan untuk sapaan itu. Itu adalah murni sebuah apresiasi dan perwakilan rasa hormat. Sebab untuk saya, sapaan Mas dan Mbak mewakili sifat pengayom.

Tirai penghalang tersibak ketika salah seorang teman saya bercerita perihal pengalaman yang mungkin serupa dengan saya. Kala itu dia sedang pergi dengan dua temannya dan mengunjungi salah satu toko. Dua teman di depannya mengucapkan "Makasih Mbak" kepada penjaga toko. Namun teman saya mengucapkan hal yang berbeda "Makasih Cik". Seketika dua orang teman saya berbisik kepada teman saya "Cuma kamu yang paling sopan". Sapaan itu diucapkan karena teman saya mengidentifikasi sang penjaga toko memiliki karakteristik keturunan Tionghoa. Lantas teman saya tersentak sejenak dan mencoba memahami maksud dari temannya itu. Dia berasumsi bahwa sapaan Mbak dan Mas dalam konteks budaya plural Jakarta sebagai Mbak-Mbak (pembantu rumah tangga) dan Mas-Mas (kuli-kuli, tukang ojek, dll).

Dari situ saya baru menyadari bahwa ada sebuah diferensiasi dalam pemaknaan sapaan ini. Pada akhirnya perbincangan ini membawa saya pada pemahaman baru dalam beradaptasi dengan lingkungan. Pemahaman saya sebelumnya adalah, ketika kita memanggil orang dengan sapaan Ko, maka pada saat itu juga saya telah memberi cap kepada orang itu bahwa dia adalah keturunan Tionghoa. Sedangkan pemaknaan saya dengan kata Mas dan Mbak adalah untuk menghargai mereka tanpa memandang latar belakang budayanya. Sebab sapaan itu bagi saya mewakili makna yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Baiklah, untuk konteks Jakarta dan sekitarnya, nampaknya saya harus menafikkan hal ini dan mencoba memahami sebagai orang lain untuk mengerti dan memahami orang lain. Indahnya perbedaan kadang membawa kita dalam perselisihan yang hanya dilatar belakangi oleh pengalaman.

Senin, 24 September 2012

Tour de Bali


Jadi begini ya comrade, untuk membuat wacana kita menjadi lebih serius, maka dari itu saya buatkan estimasi dan budgeting soal perjalanan kita:

No
Item
Keterangan
Jumlah Dalam RP
1
Bensin (Premium)

@ Rp 4.500,-/ltr
Jakarta – Jogja: +- 680 km = +- 20 liter
Jogja – Bali: +- 830 km = +- 24 liter
44 liter x 2 (pp) = 88 liter x 4.500
396.000
2
Makan PP
Diperkirakan perjalanan 35 jam + itirahat 24 jam = 59 jam = +- 2.5 hari

Diasumsikan 9 x makan @ 15.000,- = Rp 135.000,- x 2 (pp)
270.000
3
Penginapan Bali
Rp 100.000/orang/hari
Rencana menginap di Bali 2 hari
200.000
4
Wisata + Parkir
Asumsi
200.000
5
Jajan
Asumsi
200.000
6
BBM selama di Bali
Asumsi
50.000
7
Tiket ferry
Pergi – Pulang
30.000
8
Biaya Lain-Lain
Asumsi
150.000

TOTAL : Rp 1.496.000,-
Biaya ini masih kasar, semisal 1 orang 1 motor. Tapi kalo Boncengan dan kita gak banyak jajan, maka yang terjadi dengan biaya adalah Rp 1.000.000,-

Ini buat ancer-ancer biaya aja nih, pengeluaran bisa diatur sesuai dengan Situasi dan Kondisi di lapangan. Maka dari itu, AYO TOURING KE BALI....!!!!

Minggu Siang Di Kwitang

Ketika aku datang, dia memberikan senyum yang menjadi bagian kecil dari ingatan yang selalu dikenang....

Hari itu memang ada dalam rencanaku untuk bepergian mencari beberapa benda antik. Untuk itu aku datang ke kwitang, karna benda antik yang kumaksud adalah buku-buku tua yang berhasil lolos dari kobaran api Orde Baru. Aku ingin mencari beberapa referensi untuk penelitianku, disamping, ya untuk sekadar mencari suasana baru.

Siang itu matahari tidak seperti biasanya. Nampaknya matahari pun sudah lelah membakar kota Jakarta. Suasana yang tidak biasa, namun sangat menyenangkan.

"Nah, ini dia"
"Baca Tan juga? Jarang ada orang jaman sekarang yang cari itu. Lebih senang dikubur dan dilupakan dalam arus sejarah"

Wanita itu tiba-tiba saja mengomentari buku yang kupegang.

"Saya ambi ini be", katanya kepada pak tua sang kolektor buku.
"Iya neng, bagus itu. Saya baca sampai empat kali gak bosan"
"Hahahaha... Babe bisa aja."
"Ye, neng gak percaya. coba aja baca, pasti nyandu."
"Yasudah, ini pak. Harganya masih sama kan kayak biasanya?"
"Iya neng, makasih."

Perbincangan sentimentil yang semakin membulatkan pertanyaan dalam kepadaku. Sekilas tidak ada yang istimewa darinya. Ya, mungkin karena secara fisik, dia bukan tipeku. Daya tariknya justru ada pada suara yang keluar dari mulutnya. Dan yang paling berkesan adalah senyumnya sebagai menu penutup sapaan hangat yang akrab.

"Be, yang tadi itu siapa?"
"Gak tau juga dek, dia sering dateng sih beli beberapa buku di mari, tapi babe juga gak tau namenye. Ade ape?"
"Gak papa Be, penasaran aja."

Suasana Jakarta siang itu semakin terasa tidak bisa. matahari yang bersahabat, ditambah wanita misterius yang mengambil bagian singkat di siang itu, yang sekaligus menjadi aktor utama untuk siang yang tidak biasa di kwitang. Senyum yang menjadi bagian kecil dari ingatan yang selalu dikenang....

Minggu, 23 September 2012

“Karir Sempurna Bermula dari Pendidikan Sempurna”

Frasa yang menjadi judul di atas merupakan slogan dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Universitas yang kita kenal sebagai anak perusahaan dari Kompas Gramedia Group (KG). Universitas pada hakekatnya merupakan lembaga nirlaba yang berperan dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi. Tiap universitas memiliki karakternya masing-masing, dan karakter itu bisa dilihat dari karakter individu – individu yang hidup di dalamnya.

UMN didirikan dengan angan – angan luhur dari pendirinya yang tidak lain adalah CEO dari KG Group, Jacob Oetama. Ia ingin berperan dalam mencipkakan manusia yang mau dan mampu untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. Setidaknya itulah yang dikatakannya ketika memberikan sambutan di function hall UMN ketika peresmian gedung UMN. Maka pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, benarkah demikian adanya?

Universitas ini berdiri pada 2006 dengan angkatan pertama 2007. UMN baru menyelenggarakan wisuda mahasiswa pertamanya pada akhir 2011. UMN lahir ditengah maraknya isu tentang komersialisasi dua sektor strategis yang sedang berkembang, pelayanan kesehatan dan pendidikan. UMN jelas bermain dalam ranah yang kedua. Dikatakan komersialisasi karena sebuah lembaga tidak lagi mengarah pada tujuan dasar bidang yang menjadi konsentrasi, dan lebih mengedepankan laba dari penyelenggaraannya. Apakah UMN masuk dalam ketegori kampus komersil?

Definisi yang diberikan oleh Derek Bok dengan komersialisasi perguruan tinggi adalah berbagai upaya untuk mencari keuntungan dari pengajaran, penelitian dan kegiatan - kegiatan lain di kampus. Bila ingin dirinci di dalamnya termuat (1) pengaruh kekuatan ekonomi terhadap kehidupan universitas (misalnya ilmuilmu yang laku jual menjadi disiplin mayor dalam departemen). (2) pengaruh dari budaya korporasi ke dalam lingkungan kampus (rektor universitas diambil dari CEO perusahaan yang sukses, pemakaian istilah bisnis seperti bottom line, brand nama dalam kehidupan kampus). (3) kepentingan karir mahasiswa memasuki dunia kerja berpengaruh terhadap penataan kurikulum universitas.

Dari definisi tersebut, maka bisa kita lihat ada tiga indikator untuk mengategorikan sebuah perguruan tinggi tergolong komersil atau masih berpijak pada penyelenggaraan pendidikan yang luhur. Secara singkat bisa dirumuskan bahwa siapa rektor universitas itu, apa saja fakultas dan program studinya, serta sinergi kurikulum dengan dunia kerja.

Secara singkat pula bisa dikatakan UMN bukan memberi atensi pada pengolahan pola berpikir wirausaha, namun lebih pada kesiapan menyetak profesional muda yang siap kerja. Asumsi ini didasarkan pada minimnya bahkan tidak adanya inkubasi bisnis untuk mahasiswanya. Maka konsekuensi logis dari semua itu adalah UMN menyiapkan para pegawai dan karyawan untuk perusahaan – perusahaan dan sektor bisnis yang sudah ada, bukan menciptakan peluang bisnis baru. Hal itu dibantu dengan slogan yang diusungnya juga.

Dengan demikian, apakah cita – cita luhur sang pendiri masih relevan dengan situasi yang ada sebenarnya? Atau memang dari awal cita – cita itu tidak pernah ada? Hanya sebagai penampakan bayangan di depan kabut yang tidak pernah diketahui sosok sebenarnya di belakang kabut?

BESAR – KECIL

“Dominasi modal asing hanya sebuah kepastian dari sebuah kebijakan pasar bebas”. Kalimat itu cuma menimbulkan sebuah respon yang mungkin hanya akan bertahan tidak lebih dari satu menit di ingatan. Namun ketika kita mendengar berita tentang Mesuji dan perkara lain sejenisnya, atensi kita akan lebih. Ini hanya gambaran singkat yang sebenarnya memiliki korelasi yang sangat erat. Korelasi antara korporasi dan konflik, pemodal dan buruh, nasib baik dan nasib buruk, orang besar dan orang kecil.

Tukijo berusia 47 tahun. Seorang kecil yang sehari-harinya bekerja sebagai penambang pasir. Kecil, bisa mewakili ukuran dan takaran tertentu. Kecil memiliki arti porsi yang sedikit. Namun untuk Tukijo, kecil berarti sebuah kesempatan. Kecil adalah takaran orang-orang mapan yang memandang dari kejauhan. Namun untuk Tukijo, menambang pasir adalah hal besar. Besar berarti bahwa hal itu adalah alasan kenapa ia bisa menyambung hidup dan memberi penghidupan bagi istri dan anaknya. Besar adalah alasan kenapa ia harus berjuang meraih kecilnya kesempatan dan peluangnya.

Menambang pasir secara tradisional adalah perkara besar dengan peluang yang kecil. Perkara besar karena dari pekerjaan itulah ia mampu menyambung hidup dan menghidupi keluarganya – bekerja untuk mendulang harapan. Peluang kecil karena dari pekerjaan berat yang dilakukannya tidak memberikan penghasilan besar – minimal dalam porsi kerjanya yang besar – hal besar yang sering dipandang sebagai perkara kecil oleh orang-orang besar. Maka bila Tukijo kehilangan pekerjaan dan kesempatan bekerja untuk mendulang harapan, itu adalah perkara yang terbesar. Hadirnya perusahaan besar untuk menambang pasir besi di kawasan tempat Tukijo mendulang pasir sama dengan menutup rapat peluang Tukijo untuk mendulang harapan. Inilah perkara besar yang dihadapi Tukijo. Seperti kata Goenawan Mohamad – ini menjadi perkara besar karena ia terbit di orang yang kecil,.

Kondisi demikian tidak memberi Tukijo banyak pilihan selain mati-matian memperjuangkan lahannya untuk mendulang harapan. Sebab bagi orang kecil, berjuang bukan hanya tertutup pada sebuah aksi dan orasi turun ke jalan. Perjuangan Tukijo mewakili hidup dan mati orang-orang yang senasib dengannya. Perjuangan adalah sebuah pilihan – yang sebenarnya – tidak memberikan Tukijo pilihan. Maka perjuangan berubah menjadi keharusan. Perjuangan mempertahankan nasib, perjuangan melawan perkasanya korporasi dengan baju besi kecacatan hukum.

Orang kecil seperti Tukijo tidak memiliki peluang besar di muka hukum. Meski Tukijo tahu bahwa hukum seharusnya menjadi harapan besar untuk memperoleh keadilan. Bernard L. Tanya mengatakan bahwa titik tolak semua teorisasi hukum pada dasarnya berporos pada satu hal, yaitu hubungan manusia dan hukum. Semakin landasan teori bergeser ke faktor peraturan maka semakin ia menganggap hukum sebagai satu unit tertutup yang formal-legalistik. Sebaliknya, semakin teori hukum bergeser ke faktor manusia maka hukum akan terbuka dan menyentuh mosaik sosial kemanusiaan. Namun buat Tukijo, hukum lebih berwajah formal dan legalistik. Ia sudah mengalami sendiri bagaimana perihnya ditikam oleh harapan yang disandarkannya pada hukum yang ternyata begitu arogan.

Sadar dengan posibilitas dan probabilitas yang nyaris nihil di hadapan hukum, semakin memantabkan Tukijo dalam drama perjuangannya untuk menempuh jalur turun ke jalan sebagai seorang aktivis. Sadar dengan peluangnya yang kecil, namun ia juga sadar bahwa peluang kecil yang diambilnya menyimpan begitu besar harapan. Bukan sekadar harapan dirinya dan keluarganya, namun harapan besar untuk orang-orang kecil seperti dirinya. Dengan begitu Tukijo menjadi orang besar dengan harapan yang besar. Tukijo bukan menjadi orang kecil dengan ambisi yang kerdil.

MARTONO

Waktu itu 29 September. Layaknya tahun-tahun sebelumnya, selalu ada perayaan akbar untuk tanggal 2 Oktober. Kodam Diponegoro mengirimkan sekitar 500 personilnya untuk memperingati hari jadi angkatan. Angkatan yang gagah berani melindungi dan mengawal nusantara, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Angkatan yang masih hijau dengan sejumlah prestasi yang mengukir mata dunia.

Martono, putra Purwodadi yang memiliki mimpi untuk mengawal negeri, ialah salah satunya. Personil kebanggaan infanteri dengan wing emas di dada itu merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ia meninggalkan keluarga dengan mimpi-mimpi besar demi membela negara serta mengawal Republik Indonesia. Mimpi mulia yang terpatron dalam dirinya.

Namun, petaka memang datang tanpa diundang. Ia bersama rekan-rekan seperjuangannya dikhianati ketika sedang melakukan perjalanan panjang nun mulia dari Semarang ke Ibu kota. Mereka dialihkan sebelum masuk ke Ibu Kota dan diperintahkan untuk menjaga daerah Halim dengan alasan yang tidak jelas – hanya untuk berjaga. Satu pertanyaan yang menghinggapi Martono dan ratusan tentara lainnya – kenapa kita dialihkan ke sini? Tetapi Martono adalah prajurit sejati yang taat. Taat pada perintah yang kadang tidak pernah ia temukan alasannya. Ia patuh mengikuti instruksi atasan untuk menjaga daerah itu. Meskipun martono juga heran, kenapa harus menjaga daerah angkatan udara, kenapa ada pengalihan komando, dan dari mana komando itu datang? Petaka semakin dekat. Prajurit berjaga dengan penuh tanggung jawab, walau mereka pun tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tanggung.

Tengah malam menjelang subuh, suara bising berondongan senjata terdengar dari segala arah. Semakin dekat dan terus mendekat. Tanpa komando, tanpa instruksi. Selayang pandang terlihat kilat api yang jelas dari moncong senjata berat. Semakin dekat dan terus mendekat. Martono dan beberapa prajurit lari tunggang – langgang, sebab mereka tahu, ada yang tidak beres di sini. Sepelarian mereka melihat prajurit-prajurit yang terkapar dengan luka tembak. Kepalanya tidak bisa berpikir jernih, yang ada di otaknya hanya lari dan menjauh dari daerah ini. Berlari menjauh dari hamparan mayat prajurit yang terhujani peluru tajam berkaliber besar. Martono terus berlari.

Di ujung pelariannya, Martono melihat jejeran bayangan hitam di kejauhan. Ketika jarak semakin dekat, mereka disambut dengan hujanan peluru. Martono memutar haluan dan menjauh dari bayangan hitam. Rombongan mengikuti, meski satu persatu mulai berguguran disambar peluru – tepat disampingnya berlari. Kerutan dahi dan desahan nafas dengan baluran keringat cukup memperlihatkan betapa panik dan takutnya Martono dengan apa yang ada di depan matanya. Melihat rombongannya berangsur-angsur hanya menjadi kumpulan, Martono terus berlari dan menambah kecepatan. Sesekali kumpulan Martono membalas dengan tembakan kecil, yang kemudian dibalas dengan hujanan tembakan lebih dahsyat. Jelas bahwa jumlah mereka tidak seimbang. Martono sadar bahwa yang sedang dihadapinya ini bukan hal biasa yang bisa dinalar dengan logika. Maka, Martono dan beberapa kumpulannya memutuskan untuk menerobos hutan menuju Karawang, menjauh dari kejaran untuk membuka harapan besar dan satu pertanyaan besar, “Apa yang sedang terjadi?”.

Martono dan beberapa kumpulannya berhasil lari dari kejaran dan menyelinap di lebatnya hutan. Sesekali mereka masuk ke perkampungan untuk mengganti pakaian dan mencari makan, sambil mencuri-curi informasi, lalu kembali menghilang di hutan Karawang. Martono hanya ingat bahwa hari itu adalah 30 September 1965. Petaka besar yang ternyata bukan hanya menimpa dirinya. Petaka yang membuatnya hidup sebagai pelarian, sampai sekarang.

Tergadainya Idealisme

Ramlan Soemargo. Seorang intelek muda yang memiliki keahlian dalam bidang sosiologi dan antropologi. Keahlian yang didapat dari jalur formalnya. Namun dalam interaksinya, Ramlan bisa dibilang seorang psikolog. Interaksi sosial yang tinggi membuatnya memiliki banyak kerabat dan akses-akses yang jarang dimiliki kaum muda. Kelebihan ini sangat disadarinya. Ia juga menyadari bawha semua itu mampu membuka jalan dan akses baru yang membuatnya bisa lebih berkembang, termasuk akses politik.

Seorang idealis yang lebih banyak terjun langsung ke masyarakat. Menggelar diskusi di berbagai tempat dan memberdayakan pemuda di desa agar memiliki orientasi diri yang jelas. Diskusi dan menonton film merupakan agenda hariannya. Sebuah jalan yang ditekuni dengan hati dan dedikasi. Kesadaran diri membawanya merasa perlu ikut membangun kaum muda

Malam itu, setelah diskusi film, ada pria paruh baya dengan tatapan tajam memperhatikannya. Tatapan itu sudah dirasakan Ramlan setelah sampai di sebuah desa di pinggiran tangerang, sebelum acara dimulai. Mulutnya berbicara, matanya menatap peserta diskusi, namun sudut matanya tak melepaskan perhatian ke paruh baya itu. Dan ternyata, benar saja.

Seusai acara, pria itu menghampirinya, menebar senyum sambil menjulurkan tangan. “Bung Ramlan, apa kabar? Saya Yatno.” Ramlan menyambut tangan pria itu dan lantas mereka berjabat tangan. Jabatan tangan yang tegas dan sangat mempresentasikan karakter dari bukan orang biasa. Basa-basi menjadi menu pembuka obrolan itu yang akhirnya ditutup dengan sebuah tawaran. “Kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi? Saya tinggal di Bintaro, ini kartu nama saya.”

Obrolan malam itu dengan Yatno ternyata cukup impresif bagi Ramlan. Impresif karena meninggalkan sebuah pertanyaan besar. “Apa motifnya?” Sebuah pertanyaan yang membawanya pada lanjutnya hubungan yang berawal dari sebuah acara diskusi. Hubungan yang menjadi awal bagi tergadainya sebuah idealisme.

“Anda tahu? Tidak banyak pemuda yang mendedikasikan diri untuk membangun bangunan kesadaran pada pemuda di desa. Bung punya motivasi yang besar dan dedikasi pada pekerjaan. Apa bung tidak merasa perlu untuk terus mengembangkan itu?” Pertanyaan yang mengandung stimulus yang besar, mengundang ambisi untuk tidak sekadar menjadi pelayan, namun juga aktualisasi personal.

Ramlan bergabung dalam organisasi berwujud parpol. Alasan Ramlan bergabung cukup bisa diterima dengan nalar. “Partai ini satu idealisme dengan saya. Saya bisa lebih berkiprah melalui ini.” Pernyataan standar yang sebenarnya sudah terinfeksi dengan kepentingan lain dari sekadar diskusi dan menonton film.

Kendaraan politik itu ternyata memang bisa membawa seseorang pada aktualisasi diri. Mempresentasikan dirinya dan membuatnya lebih dikenal luas. Foto Ramlan telah terpajang di sana-sini. Foto-foto yang mewabah ketika ada pemilihan wakil daeran untuk pusat. Ya, Ramlan tercalon menjadi calon legislatif. Motivasinya masih sama, memberdayakan pemuda. Kendaraannya, partai politik.

Program demi program disusunnya guna mensukseskan cita-citanya memberdayakan pemuda. Program-program dengan sekian rupiah. Membawa dirinya merasa semakin terapresiasi bukan sekadar kegiatan amal nirlaba. Pekerjaan yang mampu memberikannya hidup layak, bahkan mapan, bahkan lebih. Tidak ada lagi sepeda motor. Tidak ada lagi menumpang dan dijemput pemuda dari desa. Tidak ada lagi baju yang selama ini dipakainya sebagai pengabdi masyarakat.

Kegiatan tetap sama. Diskusi dan menonton film. Sedikit masuk juga promosi kendaraan politiknya. Dukungan semakin kuat, membawanya naik dalam periode kedua. Semakin mapan dan berlebihan. Tidak cukup membawa kepuasan. Malah pikiran untuk terus menerus mencari objekan.diskusi menjadi kamuflase.

Infiltrasi partai semakin tinggi. Membatasi ruang gerak dan kiprah yang menjadi rutinitasnya. Minimal adalah rutinitas sebelum menjadi anggota dewan. Dalam situasi ini, kepentingan golongan sudah bih besar dari idealismenya. Serangkaian program dan proyek dirancang yang semakin sering menjadi tanpa realisasi, namun tetap ada laporan pertanggungjawaban. Dari mana asalnya?

Program-program pemberdayaan pemuda menjadi semakin tergadaikan. Proyek besar yang menjadi target partai menjadi target jangka pendek Ramlan. Mengumpulkan pundi-pundi menjadi target jangka menengah. Kedudukan menjadi target jangka panjangnya. Tidak ada lagi idealisme. Ramlan semakin jauh masuk ke dalam lingkaran. Bukan hanya berada di arus, namun telah menjadi motor pada lingkaran itu. Ramlan Soemargo telah luntur. Ramlan Soemargo hanya nama, tanpa jiwa, tanpa idealisme, tanpa nurani.

Ramlan semakin menikmati zona nyamannya. Membuatnya terus dan terus berusaha untuk ada dalam posisi itu. Namun seperti biasa, seperti yang telah terjadi berulang dalam sejarah. Kepentingan membutuhkan pengorbanan. Ramlan yang mempunyai kepentingan kedudukan telah mengorbankan idealismenya. Kendaraan politik memiliki kepentingan dalam kancah politik nasional juga mengajukan korban. Korban dari tubuh partai, Ramlan Soemargo.

Tidak ada lagi idealisme. Tidak ada lagi nurani. Tidak ada lagi kedudukan. Tidak ada lagi aktualisasi diri. Tidak ada lagi kepentingan. Tidak ada lagi nama baik. Tidak ada lagi peluang. Tidak ada lagi harapan. Yang masih tersisa adalah namanya, tanpa jiwa. Telah lama mati. Ramlan Soemargo, korban dari kepentingan besar. Setoran rutin partai. Limbah pabrik kekuasaan dan kepentingan besar.

Sejarah Pergerakan Mahasiswa Indonesia

Mahasiswa dalam konteks dunia politik dalam negeri merupakan sebuah kekuatan besar yang bergerak dengan momentum dan berorientasi pada perubahan. Asumsi ini didasarkan pada sejarah pergerakan kaum pelajar dan mahasiswa. Pada era pra kemerdekaan, kaum pelajar adalah pionir yang berperan dalam membidani kemerdekaan Indonesia, melalui tokoh – tokoh intelektualnya – hasil dari politik etis pemerintahan kolonial Belanda. Pulang ke tanah air dengan membawa ide – ide dan strategi untuk mendapatkan kemerdekaan, dengan membangun solidaritas yang berdasarkan kesadaran. Gerakan ini bukanlah sekumpulan orang yang frustasi dengan keadaan, namun lebih pada solidaritas dengan tujuan dan cara yang jelas.

Pada era orde lama, mahasiswa kembali berperan dalam mengukir sejarah Indonesia, dengan aksi turun ke jalan oleh mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang membawa Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Selanjutnya diikuti oleh Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), serta kesatuan – kesatuan yang lain. Tuntutan ini memaksa Soekarno untuk melakukan reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966. Namun karena unsur PKI masih ada di kabinet, maka mahasiswa kembali menggelar aksi dan memboikot pelantikan menteri – menteri pada 24 Februari 1966. Aksi itu menelan korban dari kubu mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Arief Rahman Hakim.

Pergerakan mahasiswa kembali berlangsung dengan momentum kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P.Pronk, Januari 1974, dengan wacana anti modal asing. Aksi itu berlanjut sampai puncaknya pada kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei, pada 15 Januari 1974, atau yang dikenal dengan Peristiwa Malari. Ribuan mahasiswa berencana menyambut kedatangan Tanaka dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Aksi itu pecah menjadi kerusuhan yang penuh dengan tindakan vandalisme, pembakaran dan penjarahan. Peristiwa ini ternyata membuat Soeharto geram sebab dianggap mempermalukannya sebagai pemimpin di depan mata internasional.

Aksi mahasiswa lainnya kembali terjadi pada 1998. Bermula dari krisis finansial asia, penembakan empat mahasiswa Trisakti dan kembali dipicu oleh kerusuhan masal di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Kerusuhan sistematis yang ditujukan kepada etnis Tionghoa di Indonesia. Toko – toko dijarah dan dibakar, wanita keturunan Tionghoa diperkosa dan dianiaya, bahkan dibunuh. Ini menjadi indikasi bahwa kerusuhan dan pemerkosaan digerakan secara sistematis, bukan sekadar tindakan sporadis semata. Peristiwa ini menjadi momentum bagi mahasiswa Indonesia untuk bergerak dan mengambil langkah demi sebuah perubahan, reformasi. Diwujudkan dengan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, aktivis, dan pemuda.

Melihat rentetan sejarah panjang pergerakan mahasiswa dan pemuda, terlihat begitu superior dan menjadi suatu patron dalam menelaah situasi dalam konteks nasional. Pergerakan mahasiswa bisa menjadi indikasi bagi lapisan masyarakat untuk ikut serta dalam perjuangan bangsa. Namun sayangnya, sejarah panjang itu tidak lepas dari tunggangan kepentingan politik yang lebih besar lagi. Mahasiswa dijadikan sebagai alat untuk memantabkan momentum untuk sebuah perubahan berskala nasional.

Celakanya dewasa ini pergerakan mahasiswa lebih dimanfaatkan untuk membuat kekisruhan dalam dunia politik. Mahasiswa yang tergolong intelek sangat mudah terprovokasi untuk bertindak anarki bahkan vandalistik dalam mewujudkan aksi. Tuntutan dan petisi seolah-olah menjadi barang mutlak untuk dipenuhi tanpa melihat secara luas dampak baik – buruk dari tuntutan mereka. partai politik tidak kalah turut serta dalam disorientasi pergerakan mahasiswa. Mahasiswa ditunggangi untuk melakukan profokasi dan aksi anarki. Tujuannya jelas, untuk mengalirkan isu nasional yang akan memicu aksi serupa.

Mengembalikan jatidiri mahasiswa menjadi agenda penting demi kembalinya fungsi dan tugas mahasiswa dalam konteks politik nasional. Bergerak tanpa kepentingan tersirat, selain bergerak demi rakyat harus menjadi prioritas. Koreksi dan evaluasi perlu dilakukan agar mahasiswa tidak merasi diri paling benar dan menjadikan itu alasan dasar untuk berbuat semaunya sendiri.

Perlu dilakukan pembinaan dan kaderisasi berbasis pemuda yang menggodok wacana tentang situasi politik nasional. Bergerak atas dasar kesadaran dan tuntutan nurani sebagai manusia murni yang menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan. Demi menciptakan generasi yang lebih cerdas dan bertanggung jawab.

AKU CINTA ALMAMATERKU UMN

Konsepsi Budaya
Berawal dari tulisan teman-teman OMB UMN 2012 yang saya baca, maka terrangkailah untaian tulisan sederhana ini sebagai bentuk apresiasi untuk Para Comrade UMN. Individu-individu yang terpilih berdasarkan kualitas nurani yang benar, pikiran yang membangun, dan tangan yang ikhlas dalam berkarya. Keutuhan manusia, kemanusiaan yang berbudaya.

Menurut Sidi Gazalba, “budaya adalah cara berpikir dan merasa untuk kemudian dinyatakan dalam seluruh kehidupan sekelompok manusia yang membentuk masyarakat dalam suatu ruang dan waktu tertentu.” Dalam dinamika dan proses ini banyak hal yang dihasilkan dan menjadi produk yang turun temurun diwariskan, yang dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang mencakup nilai-nilai yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Prof. DR. Koentjaraningrat)

Hal ini memberi pemahaman bahwa dibutuhkan proses, pembelajaran, dan penerapan yang dilakukan turun-temurun yang pada akhirnya akan menghasilkan akar untuk tumbuh kembangnya elemen masyarakat di atasnya. Hal ini berlaku pula di dalam lingkup kelompok manusia yang lebih kecil lagi. Misalnya budaya di sebuah negara, budaya di sebuah daerah, budaya sebuah suku, budaya perusahaan, bahkan sampai pada elemen terkecilnya, keluarga.

Karena ini merupakan sebuah dialektika, maka peranan waktu sangat kental. Ruang dan waktu membentuk kualitas serta tatanan produk masyarakat ini. Di samping itu, sisi yang tidak kalah penting adalah kualitas tiap individu di dalam masyarakat itu sendiri.

Pemahaman seperti itu akan tetap menjadi sebuah teori, dan akan menjadi usang ketika konsep di dalamnya hanya hidup di dalam pikiran dan perkataan. Budaya bisa dibentuk, maka yang perlu dilakukan adalah aplikasinya. Dengan begitu, konsep-konsep dan teori-teori yang pernah dipelajari dalam bangku formal pembelajaran tidak akan menguap dan hilang begitu saja.

Aplikasi
Merujuk pada pemahaman itu, maka ada sekumpulan orang yang belum lama terbangun dan menjadi sebuah komunitas yang diberi nama Universitas Multimedia Nusantara, atau yang sering dikenal dengan UMN. Sebuah institusi pendidikan tinggi yang menjadi cita-cita mulia pendirinya, DR. (HC) Jacob Oetama. Memiliki latar belakang panjang sebagai seorang jurnalis, serta bisnis nasional yang besar, sang pendiri membangun UMN dengan dukungan penuh dari perusahaan induknya, Kompas Gramedia Group (KG Group). Dukungan terbesar yang diberikan adalah sumber daya manusia. Individu-individu yang ditunjuk oleh sang pendiri adalah orang-orang yang memiliki kualifikasi di bidangnya masing-masing. Melalui proses yang menghabiskan waktu beberapa tahun, maka terdaftarlah UMN sebagai universitas pada 2006. Baru pada tahun 2007 proses pendidikan dimulai dengan masuknya kurang lebih 120 mahasiswa. Namun sekarang (2012) mahasiswanya sudah jauh lebih banyak dari itu.

Tolak ukur keberhasilan UMN bisa diukur dari peningkatan jumlah mahasiswa yang masuk ditiap tahunnya. Namun ada satu lagi tolak ukur yang terpenting, yaitu kualitas lulusannya. Lulusan sebuah universitas akan selalu membawa nama almamater mereka yang bersamaan dengan prestasi atau kekurangan lulusan itu sendiri ketika mengambil peran mereka di ruang publik. Fase penerimaan dan pelepasan mahasiswa merupakan rangkaian panjang yang punya banyak dinamika dan saling berkait satu dengan yang lain. Maka untuk memahami hal ini, perlu ditelaah satu persatu. Pengajar memang memegang peran kunci dalam pembentukan kemampuan mahasiswa. Berbarengan dengan hal itu, universitas sebagai instansi pendidikan punya peran yang tidak kalah besar sebagai sebuah rumah – seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya – memiliki sebuah budaya sebagai identitas universitas itu sendiri.

Dalam hal ini, maka dibutuhkan serangkaian nilai dalam kehidupan di dalam sebuah universitas. Nilai-nilai ini nantinya akan menjadi identitas almamater ketika lulusannya mengambil peran di ruang publik yang mereka pilih. Celakanya adalah, ketika sebuah universitas baru tidak memiliki patokan nilai dalam kehidupan kampus, sementara mereka telah memiliki lulusan.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Gazalba dan Koentjaraningrat mengenai budaya yang merupakan proses, maka perlu adanya nilai yang ditanamkan yang pada akhirnya bisa membudaya di sebuah universitas. Dan hal inilah yang tidak dimiliki oleh UMN sampai sekarang. Mahasiswa di UMN terlalu disibukkan dengan tuntutan akademis yang begitu kaku menekan mereka agar fokus pada pencapaian nilai akademis dengan menihilkan pengalaman nyata sebagai calon pemegang ruang publik. Imbasnya yang kemudian terjadi adalah lulusan yang minim pengalaman dengan banyak rengekan yang disertai dengan daya juang yang rendah, dan ditambah lagi dengan tekanan dari tuntutan nilai akademis yang harus mereka pertanggungjawabkan ketika mereka bekerja.

Masalah ini bukan sekadar asumsi semata. Hal ini telah banyak diungkapkan dan dikeluhkan oleh banyak pihak dan perusahaan. Saya sebagai mahasiswa yang masuk dalam jurusan jurnalistik di fakultas komunikasi UMN banyak mendengar kisah dari senior wartawan mengenai lulusan jurnalistik UMN. Hal ini membentuk asumsi fatal yang memberikan stereotipe pada lulusan jurnalistik UMN tidak memiliki kualifikasi lebih dibandingkan lulusan universitas lain. Terlebih UMN selalu mengikutsertakan nama KG yang notabene adalah berawal dari media massa. Dari keperihatinan itu, maka perlu adanya kesadaran internal yang terbentuk dari tiap-tiap individu di UMN, baik dari mahasiswa, pendidik, sampai menejemennya.

Pembentukan nilai harus sudah ditawarkan sejak langkah pertama mereka di UMN, dan tempat itu ada pada Orientasi Mahasiswa Baru (OMB). Maka dari itu, ada rumusan OMB yang dirancang untuk menanamkan nilai-nilai tadi.

Belajar dari lima angkatan yang sudah ada di UMN, ada kajian dan evaluasi mengenai fenomena negatif yang telah terjadi. Fenomena negatif ini meliputi kurangnya kebanggaan sebagai mahasiswa UMN, kurangnya kepedulian sebagai manusia, kurangnya daya juang sebagai mahasiswa, kurangnya rasa solidaritas dan kebersamaan sebagai satu rumah UMN, individualitas lebih ditonjolkan, dan yang paling parah adalah kurangnya kesadaran sebagai mahasiswa.

Evaluasi inilah yang menjadi dasar dari penyusunan nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada mahasiswa di UMN. Rumusan nilai ini baru bisa diberikan pada saat OMB, ketika anak-anak SMA naik ke fase mereka sebagai mahasiswa. Maka dirancanglah sebuah rumusan OMB yang dihasilkan dari evaluasi fenomena di mahasiswa UMN serta evaluasi OMB yang pernah dilakukan sebelumnya.

Merujuk pada definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, orientasi adalah peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yg tepat dan benar. Merupakan tinjauan sebagai dasar dari penentuan sikap atau arah yang tepat dan benar. Maka OMB perlu dirancang untuk memberi pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupannya ketika masuk sebagai mahasiswa di UMN. Pemahaman dan pengetahuan di sini bukan sekadar tentang kampus saja, perlu adanya pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan sekitar kampus, lingkungan sosial dan masyarakatnya, lingkungan yang merujuk pada geografinya, serta demografinya. Sedangkan pengetahuan dan pemahaman mengenai kampus meliputi pengetahuan dan pemahaman seputar dinamika yang akan mereka hadapi ketika mereka berproses sebagai mahasiswa UMN.

Sifat dasar manusia yang tidak suka diatur, menyukai kebebasan, dan merasa paling benar menjadi kendala besar dalam penanaman nilai-nilai dalam OMB. Namun itu bukan berarti jalan buntu, sesekali perlu adanya otoritas yang mengkondisikan mereka pada situasi yang tidak bisa mereka lawan, dengan kata lain tidak memberikan mereka pilihan kecuali mengikuti aturan dan arahan yang diberikan. Oleh sebab itu, mahasiswa baru UMN bebas untuk tidak ikut OMB, namun mereka harus menerima konsekuensi untuk tidak bisa lulus karena tidak memenuhi syarat dari SKS partisipasi yang sebagian besarnya ada di OMB. Dengan begitu, mau tidak mau mereka harus lulus OMB. karena OMB memberikan poin yang besar dalam SKS itu.

Setelah masalah ini diatasi, maka yang perlu dirumuskan selanjutnya adalah penanaman nilai. Merumuskan bagaimana membungkus nilai-nilai ini dalam sebuah rangkaian acara yang bebas dari perpeloncoan. Perpeloncoan menurut KBBI itu sendiri adalah pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dng mengendapkan (mengikis) tata pikiran yg dimiliki sebelumnya. Sebenarnya tidak ada permasalahan mengenai perpeloncoan. Yang menjadi masalah adalah kesalahan dalam memaknai arti perpeloncoan itu sendiri. Pemahaman yang ada di masyarakat awam adalah perpeloncoan identik dengan kekerasan, baik fisik, verbal, maupun mental. Maka melihat hal itu, OMB UMN merupakan sebuah perpeloncoan yang bebas dari aksi kekerasan, baik fisik, verbal, maupun mental.

Dalam mengatasi hal ini, pengemasan dalam menghadapi kesalahan mahasiswa baru (maba) perlu dikemas dalam sebuah konsekuensi dan hukuman yang mendidik. Ada perbedaan antara konsekuensi di sini dengan hukuman. Pembedaannya adalah konsekuensi muncul dari maba itu sendiri sebagai tindakan menghukum diri sendiri yang bertujuan menanamkan nilai bahwa setiap kesalahan yang menyangkut diri sendiri akan menghadirkan konsekuensi untuk diri sendiri. Maba dituntut untuk berpikir dan sadar bahwa akan ada konsekuensi yang datang dari tiap kesalahan yang dilakukan, yang sebenarnya datang dari pilihan mereka sendiri. Sedangkan hukuman diberikan ketika maba melakukan kesalahan yang lebih berat. Ada seksi keamanan yang mengurusi hukuman untuk maba. Hukuman yang mereka terima adalah untuk mendidik mereka. maba diperbantukan untuk membantu panitia, seperti mengangkat perlengkapan OMB, dan yang lainnya. Hukuman sosial yang menempatkan mereka di posisi yang tidak nyaman. Hal ini akan membuat mereka terasing dan bosan. Dengan begitu, mereka akan berpikir untuk tidak melakukan kesalahan yang akan membuat mereka menerima hukuman. Dan untuk pelanggaran fatalnya cukup dengan memberi keterangan bahwa mereka tidak lulus OMB.

Sedangkan dengan yang berhubungan dengan rangkaian acara, konseptor OMB percaya bahwa manusia akan bisa berkembang bila mereka dihadapkan dengan masalah. Dengan hadirnya masalah, mereka dituntut untuk berpikir kreatif dan berimprovisasi untuk menemukan solusi untuk masalah itu. Dalam hal ini, konseptor memberikan tugas yang banyak agar mereka bisa berpikir untuk mengerjakan itu dalam sebuah tim. Dengan begitu, tiap individu akan belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan kelompoknya, menyusun strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, serta berpikir taktis untuk pemecahan masalah yang membutuhkan waktu cepat dalam penyelesaiannya. Konseptor memberikan dua bentuk tugas, individu dan kelompok. Konseptor tidak mewajibkan mereka mengerjakan tugas individu sendiri-sendiri. Yang diwajibkan hanya mereka bisa menyelesaikan tugas sesuai dengan target waktu yang diberikan. Mereka diberikan waktu selama tiga hari untuk menyelesaikannya, maka konseptor menyusun tugas yang sangat mungkin selesai dikerjakan dalam waktu dua hari, dengan syarat, semua tugas itu dibagi dalam kelompok. Hal ini membuat tiap maba hanya mengerjakan satu tugas saja, baik individu maupun kelompok. Namun yang terjadi adalah keluhan dari maba dan yang parahnya keluhan itu datang dari orang tua maba, serta mahasiswa senior UMN yang sama sekali tidak mengerti mengenai konsep OMB itu sendiri.

Seperti yang telah dikatakan tadi bahwa tugas yang diberikan memang banyak seperti, mengumpulkan sembako, membuat prototipe ICT, booklet, video kelompok, maket, bibit pohon, yel-yel, membuat name tag, buku catatan, makanan perhari, pisang dengan panjang sesuai jumlah kelompok, dan membuat tas dari sarung bantal. Bila dilihat tugas ini sangat banyak, namun tugas-tugas ini akan dibagi dalam empat hari OMB, dan maba boleh mengerjakannya sebagai satu tim. Ada pembelajaran mengenai menejemen dalam pembagian tugasnya. Tugas-tugas ini dirancang bukan atas dasar iseng dan ingin mengerjai maba. Konseptor telah merancang OMB ini dalam waktu 7 bulan. Ada alasan yang bertujuan dan bernilai dari tiap tugas yang diberikan. Maka dari itu saya akan menjelaskan maksud dan tujuan dari tiap tugas yang diberikan ini.

(1) Mengumpulkan sembako : Tugas ini dirancang untuk menumbuhkan rasa solidaritas dan berbagi kepada yang berkekurangan, karena semua sembako yang dikumpulkan akan disumbangkan untuk panti asuhan.

(2) Membuat Prototipe ICT : Tugas ini dirancang untuk mengembangkan kreativitas berpikir dan berimajinasi maba untuk sebuah perkembangan teknologi, karena UMN tidak lepas dari kampus pelopor ICT.

(3) Booklet : Tugas ini dirancang agar maba kenal dan tahu tentang pahlawan yang menjadi nama kelompok mereka. sebab pahlawan punya peran besar dalam sejarah Indonesia. Selain itu maba juga dikondisikan untuk mengenal paling sedikit dua orang keluarga UMN. Serta mengetahui hierarki, visi misi, dan hal-hal yang menyangkut UMN.

(4) Video Kelompok : Tugas ini dirancang agar maba bisa lebih akrab dan menyatu dengan kelompoknya. Serta memberikan kesan dan kenang-kenangan mereka ketika OMB.

(5) Maket : Tugas ini dirancang agar maba berpikir kreatif mengenai apa yang mereka pahami tentang UMN dan menuangkan itu melalui karya bangun maket.

(6) Bibit pohon : Tugas ini dirancang agar maba punya kepekaan dan kontibusi nyata untuk alam. Bentuk kecil dari rasa balas jasa pada alam yang telah memberikan kehidupan kepada manusia. Ada sense of belonging yang ingin ditawarkan.

(7) Yel-yel : Tugas ini diberikan agar maba bisa lebih akrab dengan kelompoknya, punya kebanggaan yang bisa ditunjukkan secara nyata.

(8) Name tag : Tugas ini diberikan sebagai tanda pengenal maba selama OMB berlangsung.

(9) Buku catatan : Tugas ini diberikan agar mahasiswa memiliki sebuah media yang bisa mereka pakai untuk mencatat informasi yang mereka dapat.

(10) Makanan perhari : Tugas ini diberikan agar tidak ada kesenjangan sosial yang mungkin muncul dari lebarnya latar belakang status ekonomi yang dimiliki maba. Dengan begitu maba tidak akan minder dan menjadi sama dengan yang lainnya tanpa ada jurang pemisah.

(11) Pisang : Tugas ini diberikan agar mahasiswa masuk ke pasar-pasar tradisional yang ada di sekitar UMN. Sebab mereka tidak akan menemui pisang itu di supermarket. Dengan begitu maba bisa melihat dan mengetahui kondisi sosial masyarakat sekitar. Mereka akan berinteraksi dan menumbuhkan kesadaran yang membukakan mata mereka untuk melihat keberuntungan secara finansial daripada pedagang yang ada di pasar. Ada nilai kepedulian yang ditawarkan di sini.

(12) Tas sarung bantal : Tugas ini diberikan untuk menumbuhkan rasa kesetaraan sebagai mahasiswa. Sebab mahasiswa bukan dilihat dari apa yang dia bawa, namun lebih pada diri yang mereka bawa sebagai mahasiswa.

Tugas-tugas ini sangat berguna untuk pengemasan dan kelancaran acara selama OMB. Ada bahan yang diangkat dari tugas-tugas ini. Semua dirancang untuk menumbuhkan dari dalam diri pribadi melalui cara pemberian tugas. Pembelajaran diri sendiri dibutuhkan untuk memantabkan nilai-nilai yang ditanamkan.

Rangkaian acara disusun selama empat hari. Hari pertama diawali dengan upacara bendera dan pembukaan formal OMB UMB. Selainnya, lebih pada pemberian informasi mengenai kampus UMN, baik informasi akademis, serta informasi mengenai keorganisasian. Hari kedia lebih dititikberatkan ke program studi masing-masing. Acara ini perlu dilakukan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan sebagai satu program studi, sebab bagaimanapun mereka akan menempuh pendidikan sesuai dengan program studi masing-masing. Maka perlu ada informasi yang lebih detil mengenai itu. Hari ketiga diisi oleh presentasi prototipe ICT yang melatih kemampuan mempresentasikan di depan orang lain. Acara ini memberikan perkenalan kepada maba bahwa dalam perkuliahan mereka pasti akan melewati fase ini. Acara yang lain adalah Games. Games yang diberikan sengaja untuk memantabkan nilai-nilai yang ditanamkan. Melalui games, maba akan lebih senang karena acaranya lebih dinamis, namu di balik itu ada pesan yang dikemas dalam setiap games. Hari ke empat didominasi dengan games seperti hari ketiga. Ditambah dengan acara-acara santai seperti penampilan per fakultas, nominasi surat cinta, serta pengumuman kelompok terbaik. Semua itu digunakan sebagai ice breaking dari tegangnya acara. Penutup diisi dengan orasi dan kembang api agar lebih memantabkan nilai-nilai yang ditanamkan, serta memberikan kesan kepada maba, agar mereka memiliki kebanggaan sebagai mahasiswa UMN.

Rumusan acara yang tidak kalah penting adalah penerapan konsepsi Komandan Lapangan (Danlap). Danlap berfungsi sebagai orator yang menatar maba. Danlap di sini memimpin apel yang diisi dengan Salam UMN (Karya Terbaik Untuk Almamater, Persada, Sesama), Mars OMB, serta Mars UMN. Danlap juga dikondisikan sebagai orang yang paling tegas dan menakutkan. Hal ini berguna agar nilai-nilai yang diucapkan maba bisa diresapi dan dipahami oleh maba. Dan sejauh ini fungsi Danlap sangatlah penting.

Selain itu, konseptor juga memiliki panduan grafik emosi. Grafik emosi ini digunakan sebagai acuan flow emosi. Ada panduan yang jelas kapan acara dibuat santai dan kapan acara dibuat tegang dan mencekam. Grafik emosi ini juga berfungsi sebagai panduan mutlak agar panitia tidak berjalan keluar pagar acara yang telah disusun.

Deskripsi panjang di atas merupakan sebuah konsep matang yang sebenarnya telah mengalami banyak sekali perubahan. Rangkaian acara juga kadang tidak bisa berjalan sesuai dengan apa yang telah di rancang. Panitia juga harus siap berimprovisasi melihat kondisi di lapangan. Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk berjalan sesuai rundown, maka perlu diambil keputusan untuk mencari alternatif acara demi menjaga kelancaran konsep yang telah ada.

Acara yang berjalan sesuai susunan mungkin hanya berjalan sekitar 70%. Namun hal ini bukan prioritas acara, sebab prioritas acara OMB UMN adalah penanaman nilai kepada maba, supaya maba punya fondasi yang jelas sebagai mahasiswa.

Bila boleh berkata jujur, OMB UMN 2012 punya wajah tersendiri dari OMB UMN yang pernah ada sebelumnya. Sebab memang benar-benar sebuah orientasi, bukan sekadar formalitas untuk menghabiskan anggaran kampus. Terobosan lain yang dilakukan adalah dengan menghapuskan pemberian kompensasi bagi setiap panitia. Hal ini dilakukan jelas untuk menyisihkan mana mahasiswa yang hanya berorientasi untuk mencari uang dan mana mahasiswa yang benar-benar ingin memberikan yang terbaik untuk almamaternya.

OMB sebagai peletak dasar pembangunan nilai yang diharapkan membudaya di UMN telah dilakukan. Maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah membangun suasana kondusif sebagai universitas yang dihuni oleh mahasiswa dan bukan sekadar tempat les-lesan yang selesai les langsung pulang. Mahasiswa perlu sadar mengenai konsep diri mereka sebagai mahasiswa. Mahasiswa punya tanggung jawab lebih dari sekadar siswa. Mahasiswa punya sejarah sebagai agen perubahan, kontrol sosial dan politik. Mahasiswa punya Tri Dharma yang memberikan mereka tempat untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan pengajaran, melakukan penelitian, serta tanggung jawab pengabdian untuk masyarakat. Tiga karakter mahasiswa yang sudah sangat jarang ditemui.

What's Next
Organisasi kemahasiswaan di UMN perlu berbenah diri juga, baik dari tingkat UKM, HMJ-HMF, sampai organisasi BEM dan KBM. Tidak perlu lagi ada eksistensi kelompok. Tidak ada untungnya bisa eksis di dalam namun hanya bisa ciut ketika keluar. Program kerja organisasi harusnya sejalan dengan karakter mahasiswa yang lebih banyak mengambil porsi di luar kampus untuk aplikasi ketimbang hanya jago di kandang. Organisasi kampus perlu melakukan sebuah konsolidasi dan diskusi yang lebih intens mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membangun karakter mahasiswa UMN yang kuat. Karakter yang tidak hanya tinggal diam menyadari diri yang sedang diperas sebagai komoditas kampusnya sendiri. Karakter yang mau dan mampu berbicara lantang untuk nilai kemanusiaan dan kebebasan. Karakter yang mau mengembangkan diri dengan mengambil porsi lebih pembelajaran di luar kampus. Mahasiswa UMN sebaiknya perlu sadar bahwa kampusnya sedang mengarah ke sebuah garis komersialisasi. Mahasiswa UMN tidak perlu takut menghadang “si tuan tanah” yang menjadikan kampus kita sebagai ladang yang ditanami pohon uang. Mahasiswa UMN harus berani untuk mengatakan “YA” bila memang benar ya, dan berani mengatakan “TIDAK” bila kenyataan yang ada memang tidak. Soe Hok Gie pernah mengatakan bahwa kebebasan dan kemerdekaan bisa kita dapat karna kita melawan. Melawan ketidakadilan, melawan segala bentuk penindasan, melawan penguasa yang tiran.

Tiap individu mahasiswa UMN harus punya kesadaran bahwa kita punya tanggung jawab pada junior kita. Mahasiswa UMN perlu berpikir untuk membimbing juniornya agar bisa lebih baik dari kita sekarang. Walaupun kampus lain di luar sana dengan tegas menempatkan diri menjadi komersil, tapi UMN adalah kampus kita, maka kita juga yang menentukan arah dan tujuan keluarga besar kita. Masing-masing dari kita punya tanggung jawab moral kita masing-masing, tidak terlepas juga untuk para dosen, bahwa kalian adalah PENDIDIK, bukan sekadar PENGAJAR, yang bekerja untuk mengajar.

“Saya cinta almamater saya dan saya ingin melihat junior saya berkompetensi tinggi, punya nurani, dan mau rela melayani.” Itu adalah arah perjuangan kita. Tidak peduli hasil itu bisa dinikmati atau tidak, namun kita semua punya tanggung jawab yang sama kawan seperjuanganku, untuk benar-benar membuat nyata slogan kampus kita, “Karir yang luar biasa, berawal dari pendidikan yang luar biasa.” Wahai Comrade, mari kita bersama-sama membuat kampus kita menjadi luar biasa dengan jati diri kita. Mari kita bangun kesadaran diri kita masing-masing untuk mau bersikap.

Salam UMN, Karya Terbaik Untuk Almamater, Persada, Sesama...!!!



Salam,



Mahasiswa UMN

Pengikut